Demokrasi Kita di Tengah pendemi Covid - 19


Pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia, hingga saat ini tak dapat diprediksi keberlangsungannya. Di satu sisi, negara dihadapkan pada kehidupan demokrasi yang tetap berjalan demi menjaga keberlangsungan kedaulatan rakyat.
Pandemi Covid-19 bisa menjadi ganjalan dalam upaya penguatan demokrasi yang menjadi salah satu amanat reformasi. Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi kita memang tidak banyak perubahan. Kita pada dasarnya masih akan menghadapi problematika demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir cenderung mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung penguasa.
Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon pemerintah pusat sejak virus mulai merebak. Begitupula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi kebijakan yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis, secara umum nuansa over-protective parlemen kepada pemerintah masih terasa.
Di sisi lain, Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 menjadi tantangan demokrasi tersendiri di era ini. Selain menjamin kedaulatan rakyat, pelaksanaan Pilkada juga perlu menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat. Meski Jadwal Pilkada serentak 2020 ini diundur tiga bulan dari semula 23 September 2020. Penundaan ini dilakukan mengingat pandemi virus Corona 2019 atau Covid-19 yang melanda seluruh dunia, termasuk Indonesia yang tiap hari kasusnya semakin bertambah.
Sebelumnya presiden melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang ditanda-tangani 5 Mei 2020, memilih 9 Desember 2020 sebagai waktu pelaksanaan Pilkada Serentak. Meski, dalam perppu itu juga dibuka kemungkinan perubahan waktu bila krisis pandemi COVID-19 belum tuntas diatasi.
Pilkada serentak , sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 8 Tahun 2015, dilaksanakan lima tahun sekali secara serentak di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang- undang No. 8 Tahun 2015, butir ’’g’’ keluar fomulasi ulang tahapan pilkada serentak. Undang – undang itu mengamanatkan pilkada serentak digelar menjadi tujuh gelombang. Gelombang pertama (Desember 2015), gelombang kedua (Februari 2017), gelombang ketiga (2018), gelombang ke empat (2020), gelombang kelima(2022), gelombang keenam (2023), untuk kepala dan wakil kepala daerah hasil pilkada 2018.
Pilkada serentak pada gelombang ketujuh, akan dilakukan serentak secara nasional pada tahun 2027. Dan, untuk lima tahun selanjutnya dan seterusnya, pilkada akan dilakukan serentak secara nasional. Dengan ini, kesan setiap dua atau tiga hari berlangsung satu kali pilkada lagsung di Indonesia akan hilang. Kesan itu bukanlah berlebihan, mengingat negeri ini terdiri dari 34 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota. Sejak 1 Juni 2005 hingga desember 2014, telah berlangsung 1.027 kali pilkada langsung, dengan perincian sebanyak 64 pilkada di provinsi, 776 pilkada di kabupaten dan sebanyak 187 pilkada di kota.
Kita mengerti bagaimana sibuknya penyelenggara pilkada (KPU) baik di kabupaten, kota, provinsi dan pusat dalam menyiapkan semua tahapan pilkada langsung. Kita juga mengerti bagaiamana masyarakat yang dalam hal ini memiliki hak memilih, tentu saja juga menyita waktu untuk bertemu dan mendengarkan ceramah dari para pasangan calon maupun tim sukesnya. Demikian juga kita mengerti bagaimana aparat keamanan dalam menyiapkan pengamanan prima agara pilkada langsung itu berjalanan dengan tertib dan aman.

Belum lagi mengenai konflik yang terjadi setelah pembacaan hasil pilkada. Mahfud MD, ketika masih memimpin Mahkamah Konstitusi, menangani 396 gugatan sengketa pilkada sepanjang 5 tahun. Jumlah tersebut, menurutnya, mencapai 80 persen dari seluruh pilkada di Indoneisa. Sebagai contoh, pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada (saat itu namanya pemilukada), yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Totalnya berjumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada yang di sengketakan ke MK. Menurut Mahfud MD, hamper 100 persen pilkada di Indoneisa bermasalah (walaupaun tidak semua berperkara di MK).
Saat sedang menulis artikel ini saya sempet membaca beberapa diskusi di salah satu Grup WhatsApp, saya terenyak oleh pertanyaan seorang kawan di grup itu. ”Apa risikonya jika pemilu (pilkada serentak) yang di paksakan desember nanti yang mahal ini tak menghasilkan pemimpin yang diharapkan?”
Tentu saja, Mahalnya biaya kekuasaan pantas dirisaukan. Indonesia begitu cepat menandingi fenomena yang sama di Amerika Serikat, dengan produk nasional bruto (GNP) yang tak tertandingi negara kita. Indikasinya bisa dilihat dari kenaikan secara eksponensial total belanja iklan politik.
Menurut Nielsen (Media Indonesia), pada Pilpres 2014 total belanja iklan politik sebesar Rp109,74 triliun. dan masa kampanye Pemilu pada 24 Maret-13 April 2019 terdapat peningkatan belanja iklan sebesar Rp 500 miliar. Ini berbeda tajam pada saat awal reformasi medio 1999 total belanja iklan politik hanya berkisar 35 Miliar saja.
Dari total belanja iklan pemerintahan dan organisasi politik, kontributor terbesarnya adalah iklan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebesar Rp 206,6 miliar atau 20%. Posisi kedua disumbangkan oleh iklan Komisi Pemilihan Umum (KPU) senilai Rp 93,2 miliar dan calon anggota legislatif (caleg) sebesar Rp 92 miliar.
Ditengah terkurasngnya kas negara untuk membiaya Covid 19 ini tentu saja Jumlah di atas akan kian mengerikan jika ditambah pembiayaan pelaksanaan pemilu serentak desember nanti tetap dipaksakan karena kita sedang dalam masa paceklik perekonomian yang mengimpit negeri akibat pendemi covid -19. Belum sepenuhnya pulih ekonomi kita, seketika muncul pandemi Covid - 19 yang membuat krisis ekonomi global dan membawa luberan krisis baru yang melumpuhkan.
Kontradiksi harus diwaspadai karena David Morris Potter pernah berhipotesis, ”Demokrasi lebih cocok bagi negara dengan surplus ekonomi dan kurang cocok bagi negara dengan defisit perekonomian.” Upaya memperjuangkan demokrasi dengan ongkos mahal, dalam kondisi paceklik, bisa berujung pada penggalian kuburan demokrasi.
Institusi demokrasi
Isu utamanya bukanlah muncul atau tidaknya pemimpin yang diharapkan, tetapi sehat atau tidaknya institusi demokrasi sebagai produk ekstravaganza politik itu. Penekanan pada penyehatan institusi ini adalah konsekuensi dari pilihan Indonesia untuk keluar dari rezim stabilitas yang tertutup menuju rezim stabilitas yang terbuka.
Pada rezim pertama, stabilitas negara sangat bergantung pada karisma pemimpin secara individual. Kapasitas pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan cenderung mengalami sentralisasi yang memusat pada pemimpin besar.

Durabilitas dari stabilitas negara semacam itu dibatasi siklus karisma pemimpinnya; sedangkan ketertutupannya terhadap dinamika intern dan ekstern membuatnya tak memiliki kelenturan dalam menghadapi guncangan (shock) sehingga mudah terjerembab ke dalam krisis.
Pada rezim kedua, stabilitas negara bergantung pada karisma institusi-parlemen yang representatif dan responsif, eksekutif dengan kapasitas direktif-koordinatif, birokrasi yang impersonal, lembaga peradilan yang independen, lembaga pemilihan yang tepercaya dan imparsial, serta komunitas-komunitas kewargaan yang partisipatif. Kebijakan negara terbuka bagi dinamika arus informasi dan ide dari luar maupun dalam negeri, yang membuatnya memiliki daya absorpsi terhadap guncangan.
Negara yang bertransisi dari rezim stabilitas yang tertutup menuju stabilitas yang terbuka akan menjalani periode instabilitas yang berbahaya. Celakanya, tidak ada jalan pintas untuk itu dan tidak selamanya bisa dilalui. Trayek yang dilalui bisa membawa negara pada empat posisi: negara tanpa stabilitas (failed state), berstabilitas rendah, berstabilitas moderat, dan berstabilitas tinggi.
Beruntung transisi politik Indonesia saat ini tidak membuatnya terjerembab ke dalam failed state, yang ditandai dengan ketidakmampuan negara untuk mengimplementasikan dan menegakkan kebijakan. Indonesia saat ini berada pada status negara berstabilitas rendah; ditandai dengan otoritasnya yang masih diakui dan hingga taraf tertentu masih mampu menegakkan hukum, tetapi masih berjuang untuk bisa mengimplementasikan kebijakan efektif dan efisien.
Demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi, reformasi dalam institusi perekonomian, politik, dan birokrasi menjadi keharusan. Industri yang tidak efisien harus ditutup atau disehatkan, pemborosan sumber daya alam diakhiri, ketergantungan pada pihak asing dikurangi dengan memperkuat kemandirian; prosedur dan kelembagaan politik disederhanakan dan diberdayakan; birokrasi dirampingkan, disinergikan, dan diresponsifkan. Semuanya bukan tanpa pengorbanan. Banyak pihak yang akan merasa dirugikan oleh reformasi kelembagaan. Pengangguran dan dislokasi sosial yang ditimbulkan bisa membawa instabilitas, yang acap kali mendorong sebagian warga untuk menyerukan restorasi dengan mengorbankan manfaat reformasi yang digulirkan.
Betapapun mengguncangkan, pemimpin mesti siap dan mampu mengeluarkan modal politik demi membawa perubahan. Termasuk dalam kesiapan ini adalah komitmen mengurangi ongkos politik dan ketidakpopuleran demi tercapainya efektivitas pemerintahan.
”Tiada yang lebih sulit dilakukan, lebih sangsi menuai hasil, dan lebih gawat ditangani, ketimbang memulai suatu perubahan,” ujar Machiavelli. Siapa berani jadi pemimpin haruslah berani menanggung risiko: melakukan pengorbanan bagi perwujudan tatanan baru.
Karena tugas terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, ”bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental. Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena pengertian ”demokrasi konstitusional” tak lain adalah demokrasi yang tujuan ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi
Kesimpulan
Masa depan demokrasi kita tampaknya belum akan pulih dalam waktu dekat. Model post-democracy akan tetap bercokol dalam kehidupan politik kita. Memang kita tidak akan mengarah pada model pemerintahan otoriter, namun juga belum akan mengarah pada bentuk pemerintahan demokrasi tulen. Berbagai indikasi menjelang dan saat terjadinya pandemi COVID-19, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada dukungan bagi perbaikan demokrasi.
Jika tidak ada sebuah terobosan politik yang berarti, bisa jadi kualitas demokrasi kita semakin melorot pasca-pandemi ini. Munculnya berbagai regulasi yang bernuansa sentralisasi kekuasaan, selain juga karakter demokrasi kita yang mengarah pada post-democracy, dan situasi politik yang tengah berjalan saat pandemi, menjadi persoalan-persoalan pokok demokrasi kita hari ini. Belum lagi kondisi kehidupan ekonomi yang makin melemah dan potensi renggangnya kohesi sosial yang dapat memperburuk situasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DOA PEMBUKAAN JAMBORE PENDAMPING DESA SE - PROVINSI BANTEN

SAMBUTAN KETUA DPD KNPI KABUPATEN SERANG PELANTIKAN PENGURUS DPD KNPI KAB SERANG PERIODE 2015-2018

Contoh Teks Doa Sumpah Jabatan PPS