Pilkada, Politik Uang dan Partispasi Masyarakat





Oleh: Odih Hasan
Staff Divisi SDM Panwaslu Kota Tangerang
Pemilihan umum menjadi salah satu indikator stabilitas  dan dinamisnya demokratisasi suatu bangsa. Di Indonesia, penyelenggaraan pemilu secara periodik sudah berlangsung sejak tahun 1955, akan tetapi proses demokratisasi lewat pemilu-pemilu yang terdahulu belum mampu menghasilkan nilai-nilai demokrasi yang matang akibat sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak setelah penyelenggaraan Pilkada Gelombang 1 dan 2 lalu yang berjalan relatif cukup lancar dan aman.
Untuk ukuran bangsa yang baru beberapa tahun lepas dari system otoritarian, penyelenggaraan pemilu 2004 yang terdiri dari pemilu legislatif dan pemilu presiden secara langsung yang berjalan tanpa tindakan kekerasan dan kekacauan menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa ini. Tahapan demokrasi bangsa Indonesia kembali diuji dengan momentum pemilihan Kepala Daerah langsung yang telah berlangsung sejak 2005. Momentum pilkada idealnya dijadikan sebagai proses penguatan demokratisasi.
Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, maupun UU No 8 Tahun 2015 Melelui pilkada langsung dan serentak, kita berupaya untuk memperbaiki perjalanan demokrasi yang berlangsung selama ini, seperti memutus penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi kelemahan pada mekanisme demokrasi sebelumnya.  Sebab, kekuasaan sendiri telah menyebar hingga ke daerah. Pada titik inilah, demokrasi lokal akan menjadi sokoguru demokrasi nasional, seklaigus akan menentukan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Harapan besar mengenai implikasi Pilkada langsung ini,rakyat berharap dapat mengetahui dan memahami isi yang terkandung dalam undang-undang, sehingga lebih dapat meningkatkan pengetahuan serta wawasan politik atau pendidikan politik yang lebih dewasa terutama lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah daerah. Implikasi lebih lanjut melalui pemahaman  undang–undang tersebut akan membuat rakyat menjadi paham politik, membangun tingkat kesadaran dalam berpolitik, serta masyarakat lebih kreatif dalam memilih calon kepala daerah yang mempunyai pemikiran yang ingin membangun daerahnya untuk maju dan sejahtera serta pelayanan publik yang lebih baik.
Momentum Partisipasi Masyarakat
Tidak terlalu sulit untuk menemukan individu-individu yang bersikap apatis terhadap persoalan politik dalam kehidupan sehari-hari. Sudah berserakan anggapan lumrah bahwa politik merupakan ranah yang penuh dengan intrik dan licik.
Hal seperti di atas tentu dapat dengan mudah kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika disinggung seputar pilkada, caleg dan pilpres mereka (rakyat golongan menengah kebawah) cenderung menghindar dan seakan – akan tidak ingin tahu. Bahkan  mereka cenderung merespon dengan jawaban tidak tahu dan bisa juga naik pitan. Sikap seperti ini tentunya sangat memengaruhi dan bahkan mengancam terhadap proses demokrasi di negara bangsa yang bernama Indonesia ini.
Sikap tidak acuh seperti di atas akan berakibat pada meurunnya partispasi secara elektoral. Pemilu sebagai salah satu instrumen proses pergantian kepemimpinan dalam negara demokratis mendapat perhatian yang lebih. Pesta rakyat lima tahunan  menjadi tanda bahwa negara ini merupakan negara demokratis. Milbart dan Goel, membedakan partisipasi menjadi beberapa ketegori; pertama, apatis yaitu orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Mereka adalah warga masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih, hal ini kadang dianggap sebagai tindakan “haram” dalam proses demokrasi apalagi memobilisasi masyarakat untuk tidak ikut memilih. Di sisi lain, hal ini ditafsirkan
sebagai sikap politik, karena pesimis terhadap proses dan hasil pemilu
.Walau pun penerunan partispasi dianggap lumrah di beberapa negara demokratis. Tentunya temuan di atas tadi mengindikasikan adanya penurunan kepercayaan, baik terhadap pemerintah bahkan tidak terkecuali kepada partai politik. Ada semacam evaluasi kinerja pemerintah dari masyarat yang menjadi faktor menurunnya partispasi pada saat pilpres dan pemilu.
Kaitannya dengan demokrasi, partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi
masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Dalam pilkada, legitimasi
masyarakat secara kuantitatif sangat berpengaruh terhadap calon pemimpin yang
terpilih. Selain itu, inti (core) dari demokrasi, partisipasi masyarakat sangat berkaitan
dengan pemenuhan hak-hak politik dari setiap warga Negara. KPU RI merilis bahwa
Pilkada serentak
Gelombang Perta pada 9 Desember 2015 lalu, partisipasi pemilik suara mencapai 70 persen secara Nasional dan sekira 30 persen pemilih yang tidak memberikan hak suaranya. 
Politik Uang
Pilkada damai, bersih dan jujur pada hakikatnya adalah keniscayaan yang harus
diwujudkan dalam setiap momentum politik. Walaupun realitasnya, masih ada oknum
yang bermain curang, yakni menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politik. Hal
tersebut dikhawatirkan akan mengeleminasi nilai-nilai agama, nilai moral atau etika
yang telah tertanam dan terbangun sejak lama melalui proses pendidikan.
Hal tersebut patut diwaspadai, atau dicegah mulai diri sendiri dan orang-orang
disekitar kita (ibda’ binafsik tsumma man ta’ulu). Diperlukan kesadaran kolektif
(bersama), oleh seluruh elemen masyarakat agar menghasilkan pilkada yang
bermartabat dan melahirkan pemimpin yang amanah
Sikap apatis rakyat di atas akan berdampak pada semkin maraknya praktek – praktek oknum yang kurang bertanggung jawab (baca: money politic). Tentunya tidak ada seseorang yang bertindak tanpa dimobilisasi. Akan tetapi pertanyaannya mobilisasi seperti apa? Jika mobilisasi sekedar memberi penyadaran terhadap pentingnya partispasi dan pendidikan politik tentunya dalam batas – batas yang wajar. Mobilisasi yang dimaksud yakni berupa insentif uang dan sejenisnya.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan, toleransi pemilih terhadap politik uang cukup tinggi."Sebanyak 41,5 persen pemilih menilai politik uang sebagai suatu kewajaran dan hanya 57,9 persen yang menilai politik uang tak bisa diterima. Sementara itu, sekira 28,7 persen responden menyatakan akan memilih calon yang memberi uang. "10,3 responden akan memilih calon yang memberi uang paling banyak,". Direktur Eksekutif Indikator politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyebutkan, salah satu faktor yang menyebabkan politik uang masih digemari masyarakat Indonesia, karena tingkat pendidikan yang rendah. "Faktor yang sangat berkaitan dengan sikap terhadap politik uang adalah tingkat pendidikan dan pendapatan," tutupnya.
Partai politik seakan mempersubur sikap apatis masyarkat. Sederetan anggota partai  politik yang menjadi tersangka korupsi menjadi salah atu alasan. Perilaku parpol yang terkesan kurang konsisten juga menumbuhkan semakin menipisnya kepercayaan masayakat terhadap pemerintah dan pada akhirnya berdampak pada pilihan golput. Perilaku masyarakat  ini terjadi karena akumulasi kekecewaan terhadap partai politik.
Ketidak konsistenan partai politik menjadi salah satu yang paling berpengaruh terhadap menurunnya pasrtispasi masyarakat pada saat pemilu. Partai seakan menjadi biang keladi dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh negara bangsa (baca: korupsi). Konsep Rubah Macheavelli dimana perilaku cenderung berubah dan seakan tergantung pada kepentingan sesaat menjadi gambaran perilaku partai politik dewasa ini.
Negara kaya tentunya membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang mempunyai kemampuan sepadan dengan luas wilayah Indonesia. Negarawan yang dibutuhkan juga harus mempunyai sikap berani, sehingga dia akan menjadi garda terdepan ketika bangsanya dilecehakan dan dipermalukan dimuka umum. Masayarakat tidak seharusnya menutup mata terhadap politik apalagi bersikap tidak acuh yang ditandai dengan tidak memberikan suaranya ketika pemilu. Kesadaran untuk berpartispasi akan membantu negara bangsa keluar dari berbagai problem yang seakan tidak berkesudahan. Partispasi rakyat menemukan Momentumnya pada Pilkada serentak, pilpres dan pemilu 2019. Mumentum tersebut juga memberi peluang untuk keluar dari kemelut bangsa ini. sehingga partispasi rakyat dan pilihannya menjadi penentu arah negara bangsa selanjutnya.
Kesadaran kolektif sebagai warga Negara sudah saatnya digerakkan secara
massif sebagaimana masifnya money politik di pilkada dan merusak sendi-sendi
demokrasi. Hasil proses pilkada merupakan ikhtiar politik dari warga masyarakat untuk
mewujudkan harapan-harapan hidupnya secara berkelanjutan bukan untuk tujuan jangka
pendek semata. Nilai-nilai ilahiah harus dihadirkan dalam setiap proses politik yang
berlangsung, bukan sebaliknya. Agar aktivitas masyarakat termasuk politik kiranya
dapat bernilai ibadah. Wallahu a'lam bi al-shawab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DOA PEMBUKAAN JAMBORE PENDAMPING DESA SE - PROVINSI BANTEN

SAMBUTAN KETUA DPD KNPI KABUPATEN SERANG PELANTIKAN PENGURUS DPD KNPI KAB SERANG PERIODE 2015-2018

Contoh Teks Doa Sumpah Jabatan PPS