Pilkada Serentak Formulasi Baru Demokrasi Indonesia



Oleh: Odih Hasan
Div. SDM Panwaslu Kota Tangerang
SEJAK Awal Era Reformasi bergulir, telah mengubah hampir seluruh praktik demokrasi yang ada di Indonesia. Era Reformasi menjadi penanda terbentuknya demokrasi yang lebih memberikan kebebasan setiap orang untuk turut berpartisipasi. Era Reformasi juga awal di bangunnya paradigma baru demokrasi yang telah di bangun sebelumnya. Perubahan-perubahan tersebut juga menyebabkan perubahan praktik-praktik demokrasi yang kita laksanakan. Pelaksanaan demokrasi berubah dan semakin membaik beriringan dengan perubahan dan perbaikan sistem demokrasi. Bahkan, di era Reformasi ini, untuk kali pertama dilaksanakan pilkada Langsung pada tahun 2005 dan Pilkada serentak (gelombang pertama) di seluruh Wilayah Indonesia pada Desember 2015.
Refleksi UU Pemilu 
Setiap rezim pemerintah selalu berbeda dalam hal kebijakannya. Hal ini dapat diketahui secara baik dari zaman Orde Lama Soekarno, Orde Baru Soeharto, maupun Reformasi era Habibie dan pasca-Reformasi Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru terdapat dua produk undang-undang yang terkait langsung dengan sentralisasi, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tata acara pemilihan kepala daerah. Kedua undang-undang tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1975 tentang Pemerintahan Desa. Sejak itu tidak pernah dilakukan amandemen sama sekali sampai jatuhnya Soeharto pada 1998. Ketika Habibie menggantikan Soeharto, lahirlah UU baru untuk menggantikan UU lama yang dipandang tidak demokratis dan tidak cocok lagi dengan era Reformasi tersebut, yakni UU NO. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perkembangan selanjutnya, UU No. 32 tahun 2004 lahir di era Megawati. UU ini menjadi rujukan dan payung hukum dalam pemilihan kepala daerah secara langsung sebelum akhirnya di gantikan oleh UU No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Kepala Daerah dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pada awalnya, perdebatan mengenai mekanisme pilkada berlangsung intensif antara dua pilihan, yakni pilkada oleh DPRD ataukah pilkada langsung oleh rakyat. Kita pernah memiliki UU no. 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur meknisme pilkada oleh DPRD. Namun, UU tersebut belum sembat di lakasanakan, karena mendapatkan penolkaan secara luas oleh rakyat. Kemudian Presiden RI menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, yang mengatur mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat.
UU No. 1 tahun 2014 –pun mengalami perubahan yang kemudian di gantikan dengan menjadi UU No .1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota. Tahapan selanjutnyapun terjadi pembahasan oleh pemerintah bersama DPR RI sehingga lahirlah UU No. 8 Tahun 2015 yang mengatur mengenai mekanisme demokrasi dan suksesi kepemimpinan politik lokal yang di selenggarakan lewat pilkada langsung dan serentak.
Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, skema pilkada serentak berubah, yakni : (1) Bagi Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan juli sampai desember 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, dilaksanakan pemungutan suara serentak pada bulan Februari 2017. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pilkada serentrak 2017 tersebut menjabat sampai dengan tahun 2022; (2) Bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang masa jabatanya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019, dilaksanakan pemungutan suara serentak pada bulan Juni 2018. Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2018 tersebut menjabat sampai dengan tahun 2023; dan (3) Bagi Kepala Daearah dan Wakil Kepala Daerah hasil Pilkada serentak tahun 2015, akan dilaksankan pemungutan suara serentak pada bulan September 2020. Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah hasil pilkada serentak tahun 2020 tersebut menjabat sampai tahun 2024.
Gagasan pilkada serentak lahir dari imajinasi untuk meretas praktek demokrasi yang tidak kunjung keluar dari kebuntuan politik, karena kita masih terperangkap dalam rutinitas seremonial pilkada yang melelahkan, tapi tak kunjung membawa perubahan. Oleh karena itu, pilkada serentak menawarkan jalan baru mengatasi kesemerawutan politik selama ini. Sebelum era pilkada serentak, setidaknya dua atau tiga hari sekali kita menyelenggarakan pilkada secara terus menerus pada berbagai daerah di seluruh tanah air. Rakyat lelah dan pemerintah tidak focus bekerja, karena urusannya dari pilkada kepilkada.
Melelui pilkada langsung dan serentak, kita berupaya untuk memperbaiki perjalanan demokrasi yang berlangsung selama ini, seperti memutus penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi kelemahan pada mekanisme demokrasi sebelumnya.  Sebab, kekuasaan sendiri telah menyebar hingga ke daerah. Pada titik inilah, demokrasi lokal akan menjadi sokoguru demokrasi nasional, seklaigus akan menentukan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Formulasi Pilkada Serentak
Pilkada serentak , sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 8 Tahun 2015, dilaksanakan lima tahun sekali secara serentak di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang- undang No. 8 Tahun 2015, butir ’’g’’ keluar fomulasi ulang tahapan pilkada serentak. Undang – undang itu mengamanatkan pilkada serentak digelar menjadi tujuh gelombang. Gelombang pertama (Desember 2015), gelombang kedua (Februari 2017), gelombang ketiga (2018), gelombang ke empat (2020), gelombang kelima(2022), gelombang keenam (2023), untuk kepala dan wakil kepala daerah hasil pilkada 2018.
Pilkada serentak pada gelombang ketujuh, akan dilakukan serentak secara nasional pada tahun 2027. Dan, untuk lima tahun selanjutnya dan seterusnya, pilkada akan dilakukan serentak secara nasional. Dengan ini, kesan setiap dua atau tiga hari berlangsung satu kali pilkada lagsung di Indonesia akan hilang. Kesan itu bukanlah berlebihan, mengingat negeri ini terdiri dari 34 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota. Sejak 1 Juni 2005 hingga desember 2014, telah berlangsung 1.027 kali pilkada langsung, dengan perincian sebanyak 64 pilkada di provinsi, 776 pilkada di kabupaten dan sebanyak 187 pilkada di kota.
Kita mengerti bagaimana sibuknya penyelenggara pilkada (KPU) baik di kabupaten, kota, provinsi dan pusat dalam menyiapkan semua tahapan pilkada langsung. Kita juga mengerti bagaiamana masyarakat yang dalam hal ini memiliki hak memilih, tentu saja juga menyita waktu untuk bertemu dan mendengarkan ceramah dari para pasangan calon maupun tim sukesnya. Demikian juga kita mengerti bagaimana aparat keamanan dalam menyiapkan pengamanan prima agara pilkada langsung itu berjalanan dengan tertib dan aman.
Belum lagi mengenai konflik yang terjadi setelah pembacaan hasil pilkada. Mahfud MD, ketika masih memimpin Mahkamah Konstitusi, menangani 396 gugatan sengketa pilkada sepanjang 5 tahun. Jumlah tersebut, menurutnya, mencapai 80 persen dari seluruh pilkada di Indoneisa. Sebagai contoh, pada tahun 2012, sebanyak 77 daerah melaksanakan pilkada (saat itu namanya pemilukada), yang terdiri atas 6 provinsi, 18 kota, dan 53 kabupaten di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sengketa yang diajukan ke MK berasal dari 4 provinsi, 12 kota, dan 43 kabupaten. Totalnya berjumlah 59 daerah atau 76,62 persen pilkada yang di sengketakan ke MK. Menurut Mahfud MD, hamper 100 persen pilkada di Indoneisa bermasalah (walaupaun tidak semua berperkara di MK).
 Harapan
Melalui pilkada serentak, suksesi kepemimpinan lokal berada dalam siklus yang tertib dan tertata rapi. Melalui pilkada serentak, kita dapat mengurangi aktivitas politik warga Negara, sehingga masyarakat dapat bekerja dengan tenang. Pemerintah daerah akan lebih berkonsentrasi pada implementasi program – program pembangunan di wilayah masing –masing. Gubernur  dan wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil walikota juga akan lebih fokus merealisasikan janji – janji kampanye, sehingga tidak lagi berpikir mengenai pelaksanaan pilkada yang tidak kunjung selesai.
Dengan demikian, pilkada serentak akan membangun budaya politik baru dalam demokrasi Indonesia. Pilkada serentak menjadi eksperimentasi dari budaya politik baru dalam bentuk kebebasan yang beradab,sehingga proses pelaksanaan sampai penentuan hasil akan berlangsung secara berdab pula.
https://inilahbanten.co.id/detail/pilkada-serentak-formulasi-baru-demokrasi-indonesia/ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DOA PEMBUKAAN JAMBORE PENDAMPING DESA SE - PROVINSI BANTEN

SAMBUTAN KETUA DPD KNPI KABUPATEN SERANG PELANTIKAN PENGURUS DPD KNPI KAB SERANG PERIODE 2015-2018

Contoh Teks Doa Sumpah Jabatan PPS