DEMOKRASI BANDIT





Judul diatas terinsfirasi dari apa yang telah Almarhum Ignatius Wibowo ulas tentang penomena bandit demokrasi, dalam artikelnya yang kemudian dihimpun dalam buku Negara dan Bandit Demokrasi (2011). Ia meminjam tesis Mancur Olson dalam Power and Prosperity (2000), bahwa ada dua jenis bandit yang menyebabkan kemakmuran suatu Negara tak kunjung datang setelah adanya pemerintahan yang buruk.

Dua jenis bandit itu, roving bandits alias para bandit yang mengembara, dan satunya lagi yang menetap alias stationary bandits. Melengkapi Olson, Alfan Alfian dalam bukunya Bandit-bandit Segala Bidang (2016) menambah satu jenis bandit lagi, yakni in between bandit, alias bandit yang setengah menetap setengah mengembara.

Sekilas, istilah-istilah itu mengingatkan ulasan sejarawan Eric Hobsbwam, the social bandits. Perbanditan sebagai fenomena social telah lazim sejak lama. Bandit merupakan istilah yang dilekatkan para aksi criminal, suatu tindakan melawan hukum, yang dilakukan dengan menjarah harta benda para korbannya. Justru yang menarik dari hobsbawm efek sosialnya. Hobsbawm dalam Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of social Movement in the 19th and 20th Centures (1959), mencatat perbanditan merupakan fenomena social, dan ‘’secara hukum, bandit itu siapa saja yang termasuk kedalam kelompok orang yangmenyerang dan merampok dengan kekerasan, dari mereka yangmenjambret uang gaji dipojok jalan perkotaan sampai pada para geriliawan dan pemberontak yang terorganisir, yang kebetulan ilegal’’.

‘’Ketika kebanditan bargabung ke sebuah gerakan yang besar,’’ nah inilah yang menarik dari Hobsbawm’’ maka ia menjadi bagian dari sebuah kekuatan yang dapat dan memang mengubah masyarakat.’’ Dalam konteks bandit sosial, cakrwala para bandit itu sempit, seperti petani rata-rata, dan karenanya hasil intervensi mereka dalam sejarah, sering tidak akan menjadi seperti yang mereka harapkan. Betapapun demikian, yang menyumbang peran penting dalam literature transnational (organized) crime.

Istilah demokrasi banditbisa kita munculkan terkait dengan keleketannya dengan politik-kekuasaan. Bandit-bandit demokrasi menggunakan power, money, media, dan instrument-instrumen lain untuk membjak demokrasi demi kepentingan kelompok. Roving bandits bekerja secara canggih, bahkan seven Samurai pun tak mampu melacak, menangkal dan melawannya. Maka jadilah demokrasi kita dengan demokrasi bandit atau demokrasi para bandit.

Soal Seven Samurai, ia  adalah film klasik Sutradara jepang Akira Kurosawa. Ia sering disebut-sebut salah satu film terbaik, dan sedikit film Jepang yang dikenal luas didunia Barat untuk waktu lama. Film yang dilis 1954 itu pun dicatat mengilhami film the Magnificent Seven (1960). Para samurai digantikan para gunslinger. Film-film koboy lone ranger, dating ke satu tempat, melawan bandit-bandit, setelah situasi aman, pergi lagi: seolah kebalikan roving bandit. Seven Samurai menceritakan para petani disebah desa yang menyewa tujuh orang ronin (samurai tak bertuan) untuk melawan roving bandits yang akan segera kembali setelah panen.

Pencuri, penyamun, perampok, pencopt, bandit, mafia, koruptor, maling, penguntil, apapun sebutannya, bermakna menghilangkan hak orang lain. Mereka menyabot kesempatan orang banyak untuk sejahtera, kesempatan bangsa untuk maju. Bandit demokrasi, tentu saja memaknai ‘’demokrasi’’ untuk kepentingan kebanditannya.

Demokrasi bisa kolaps oleh tingkah laku para bandit itu. Wibowo mencatat roving bandits lebih luas ketimbang stationary bandits. Walaupun sama-sama ber-mindset menjarah, mengambil dan merampas kekayaan Negara, roving bandits lebih atraktif dalam mengerahkan aji mumpung. Bahwa mumpung masih berkuasa, menjarah sepuasnya. Stationary bandits mengambilnya pelan-pelan. Tapi daya rusaknya tak kalah mengerikan. Sementara bandits in between menurut Alfan Alfian, lebih luwes dalam berpraktek.

Walaupun kaitannya lebih keranah politik, bagaimana merebut dan memepertahankan kekuasaan sedemikian rupa, bandit-bandit demokrasi bukan sekedar dimainkan oleh para operator pembagi uang (money politics) ke para pemilih sasaran dalam praktek berbagai macam jenis pemilu. Tetapi, lebih luas dari itu, ia adalah bandit-bandit segala bidang yang membuat banyak orang dimiskinkan, karena tidak adanya pembajakan politik dan tidak terjadinya perbaikan system ke arah yang lebih baik.
Tidak ada jaminan bahwa rakyat banyak memperoleh hak-hak hidup mereka secara layak, justru karena hak-hak mereka dirampas oleh para bandit yang bahkan leluasa bergerak dalam sitem demokrasi sekalipun. Perbanditan memiskinkan rakyat dan  bangsa. Selaras sinyalemen Hobsbawm, perbanditan akan selalu ada dan berkembang. Mereka akan menjarah dan menjarah, pelan-pelan atau cepat, halus atau kasar. Sistem hadir mencegah, aparat hukum menindak – terlepas dari efektif tidaknya.

Barangkali karena itulah sastrawan Anton Chekov, yang cerpennya lucu-lucu itu, tidak terlampau khawatir dengan perbanditan, toh yang dijarah Cuma materi – barangkali. Chekov bilang dunia tidak binasa oleh bandit dan kebakaran, tapi dari kebencian, permusuhan, dan semua percekcokan kecil. Yang berbahaya lagi, karenanya, bandit-bandit yang menebarkan kebencian dan permusuhan.
Ingatlah demokrasi bukan system terbaik, kendatipun belum ada system politik yang lebih baik.

Demikian menurut Winstom Churchill. Karenanya, Robert Dahl pun perlu menulis Democracy and Its Critics. Dari jantung Negara terdemokratispun, kritik terhadapnya terbuka. Bahkan, Wiliam Blum menulis buku ‘’Demokrai: Ekspor Amerika Paling Mematikan.’’ Tetapi , Karena demokrasi masih dipandang terbaik, yang perlu dilakukan membersihkan hal-hal yang membuatnya tak bermaslahat.
Ketidakmaslahatan itu bisa muncul dari ‘’kekuasaan kaum bandit’’ dalam partai-partai atau organ-organ politik apapun, termasuk lembaga-lembaga Negara. Untuk mengantisipasinya, perlu sistem yang efektif untuk mencegah kaum bandit itu mengendalikan politik dan memegang kendali kebijakan public. Dalam demokrasi, kata Nurcholish Madjid tempo dulu, bahkan ‘’setan gundul’’ pun bisa muncul sebagai pemimpin, karena dipilih orng banyak. Tetapi , permasalahan bagi kita, tentu adalah mengikhtiyarkan secara sistemik dan mentalitas untuk mencegah ‘’setan gundul’’ itu terpilih sebagi pemimpin daerah atau nasional.

Kritik terhadap demokrasi sebagai ‘’kebenaran orang banyak’’ alias benere wong akeh, demikian setidaknya menurut Emha Ainun Nadjib, kebenaran model demikian, belum tentu kongruen dengan ‘’kebenran yang sejati’’ alias ‘’bener kang sejati’’. Dalam demkrasi, jargon ‘’suara rakyat, suara Tuhan’’ sering memunculkan pemimpin ultra-nasionalis yang jahat. Padahal, ‘’ suara Tuhan’’ alias vox Dei semestinya suara kasih sayang dan kesejatian kebenaran.

Sungguh kalo kita terjebak sekedar vox populi, demokrasi masih belum lengkap sayapnya, kecuali ‘’sayap kuantitas’’. Sayap lainnya, vox Dei sebagai kepemimpinan yang sejati, sayap kualitasnya. Dalam berpemilu sebuah masyarakat yang terkondisikan untuk memilih ‘’setan gundul’’ sebagai pemimpin, celakalah. Kendatipun, ada pendapat dipimpin ‘’setan gundul’’ pun masih lebih baik ketimbang Negara tak punya pemimpin.
Imajinasi politik kita sungguh jangan sebatas politik popularitas dan rebutan jadi tokoh yang elektabel secara super-instan. Imajinasi kita harus jauh dari sekedar urusan rebutan kekuasaan, bayangan-bayangan berkuasa itu enak dan bisa semaunya. Bukan pula sekedar ingin menjadi penguasa, tetapi harus melebihi itu semua, menjadi pemimpin, membangun peradaban yng bermashlahat.

Demokrasi yang kita gadang-gadang sebagai sistem terbaik dalam urusan mengelola negara. Hasilnya, demokrasi belum menghasilkan apa-apa bagi rakyat, kecuali kemakmuran kelompok-kelompok pemenang. Rakyat telah dikhianati dengan slogan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Demokrasi bukan membawa rakyat mendekati kemakmuran, namun membawa rakyat dalam kubangan nasib yang semakin memprihatinkan.
Demokrasi telah dibajak oleh para preman-preman politik untuk memenuhi kepentingan dirinya. Dengan logika ‘mumpung’ berkuasa. Mereka jarah seluruh kekayaan negeri. Mereka tak ubahnya garong-garong berdasi, yang hidup diatas penderitaan rakyat. Mereka lebih kejam dari yang kita bayangkan.

Demokrasi yang kita harapkan melahirkan khazanah peradaban yang bermartabat, menyehatkan, mencerahkan dan memakmurkan rakyat. Nyatanya, memproduksi politisi-politisi perampok. Perampok intelek yang bekerja dengan cerdas dan cerdik memanfaatkan rakyat. Demokrasi hanya menghasilkan kehampaan, karena telah di rampok para bandit.
Akhirnya, Demokrasi kita kini telah menjelma menjadi hedonisme politik yang  tiranik. Hal ini dapat kita ukur melalui otoritas politik disalahgunakan, kepercayaan rakyat dikhianati, suara rakyat dibungkam, fungsi representasi direduksi, kesejahteraan rakyat jadi kesenangan diri, kewenangan amanah rakyat berubah menjadi kesewenang-wenangan, ketika rakyat hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.

Buah demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia yang tak kunjung membawa kemakmuran. Seakan menjawab rasa pesimistis Almarhum Ignatius Wibowo mengenai demokrasi sebagai kampiun penyelamat kebobrokan sistem politik. maka pantaslah demokrasi kita demokrasi Bandit atau demokrasi para Bandit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DOA PEMBUKAAN JAMBORE PENDAMPING DESA SE - PROVINSI BANTEN

SAMBUTAN KETUA DPD KNPI KABUPATEN SERANG PELANTIKAN PENGURUS DPD KNPI KAB SERANG PERIODE 2015-2018

Contoh Teks Doa Sumpah Jabatan PPS