Sejarah Film dan Perkembangan Film Indonesia
Film pertama kali
dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand Cafe
Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini
sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara
bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus
membicarakan bioskop. Meskipun usaha untuk membuat "citra bergerak"
atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun
130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe
inilah yang menandai lahirnya film pertama di dunia.
Pelopornya adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November 1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris (Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di Italia (1905).
Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.
Film kita tidak hanya dapat dinikmati di televisi, bioskop, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD, film dapat dinikmati pula di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang ditata rapi, yang diistilahkan dengan home theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat jaringan superhighway ini.
Isu yang cukup
menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan
televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar,
waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas
yang lebih baik. Menurut Jack Valenti, kekuatan unik yang dimiliki film,
adalah: (1) Sebagai hasil produki sekelompok orang, yang berpengaruh terhadap
hasil film; (2) Film mempunyai aliran-aliran yang menggambarkan segmentasi dari
audiensnya. Seperti: drama, komedi, horor, fiksi ilmiah, action dan sebagainya.
Bagi Amerika Serikat, meski film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya
sana, namun film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan
cukup besar.
Hal lainnya adalah
soal konglomerasi dalam industri ini, dimana konglomerat besar industri film
dunia mempunyai kontrol terhadap pendistribusian film ke bioskop, video,
stasiun Televisi kabel dan stasiun televisi sampai luar negeri. Hal tersebut
berimplikasi yang membuat pemain baru tidak bisa masuk.
Hampir sama dengan
industri musik dan rekaman, pelanggaran hak atas kekayaan intelektual juga
menghantui industri perfilman. Meski dalam setiap film produksi AS terhadap
peringatan dari FBI, namun pembajakan film tetap saja tidak bisa diremehkan
begitu saja.
Industri Film Indonesia
Bagaimana dengan
industri film Indonesia? Topik lama ini sudah dua dekade lamanya menjadi bahan
perbincangan kalangan film Indonesia. Film-film Indonesia selama dua dekade ini
(1980-an dan 1990-an) terpuruk sangat dalam. Insan film Indonesia seperti tak
bisa berkutik menghadapi arus film impor.
Masalah yang dihadapi
harus diakui sangatlah kompleks. Mulai dari persoalan dana, SDM, hingga
kebijakan pemerintah. Persoalan ini dari tahun ke tahun semakin melebarkan
jarak antara film, bioskop dan penonton, tiga komponen yang seharusnya memiliki
pemahaman yang sama terhadap sebuah industri film.
Di awal millenium
baru ini tampaknya mulai ada gairah baru dalam industri film Indonesia.
Karya-karya sineas seperti Garin Nugroho, Riri Reza, Rizal Mantovani, Jose
Purnomo dan beberapa sineas lainnya seperti memberikan semangat baru pada
industri film Indonesia. Kenyataan ini cukup memberi harapan, karena selain
terjadi disaat bersamaan dengan bangkitnya film-film dari dunia ketiga, tak
terasa bahwa industri perfilman sesungguhnya sudah seratus tahun dikenal di
Indonesia.
Di Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Film cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng ini diproduksi oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri film lokal
sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini diproduksi
oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di Bandung
dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931) sebanyak 21
judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat dengan
pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat adanya
227 bioskop.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Di tahun ‘80-an,
produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun ‘70-an menjadi 721 judul film.
Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang
mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi
produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat
sukses besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama
yang selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan dibuat
beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang mencapai
rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah penonton adalah
film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun ada campur tangan
pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit untuk di tandingi
oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun ‘80-an ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta. Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun ‘80-an, kondisi film nasional semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.
Meski dalam kondisi
“sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di atas
Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di festival
film internasional. Pertengahan ‘90-an, film-film nasional yang tengah
menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron di
televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar
lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD
yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film Indonesia
telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming dengan jumlah
penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta, yang
membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang laris
manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina,
Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga
Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang diusung
terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema horor,
begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Dengan variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international.
Bahan Bacaan
Mambor, Victor C.
(2000). “Satu Abad “Gambar Idoep” di Indonesia”. Jakarta: Kunci Cultural Studies
Center.
Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.
Straubhaar, Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.
Terima kasih untuk artikelnya...sangat membantu untuk bahan presentasi
BalasHapus