Golkar dan Demokrasi Aklamasi
Golkar dan Demokrasi Aklamasi
Ramainya Musyawarah Nasional (Munas) IX Partai Golkar yang di
selenggarakan di The westin Resort Nusa Dua, Bali, memunculkan
beberapa isu diantaranya bahwa Munas akan berlangsung nyaris tanpa hambatan
berarti. ARB dipastikan terpilih secara Aklamasi, muncul pertanyaan apakah
Aklamasi itu bertentangan secara demokrasi? Ataukah Aklamasi merupakan
Demokrasi Musyawarah?
Aklamasi berarti pengukuhan seseorang atau pasangan dalam suatu pemilihan
umum, tapi tanpa pemungutan suara. Dengan kata lain, meskipun yang mendukungnya
sedikit, calon tersebut tetap akan terpilih karena memang hanya dialah
calonnya. Hal ini terjadi tidak hanya di golkar saja, tapi juga di beberapa
partai lain.
Aklamasi, sebagai salah satu mekanisme dan prosedur untuk memilih dan
mengangkat pemimpin melalui cara musyawarah dan mufakat, meskipun bukan menjadi
mekanisme yang wajib dilaksanakan oleh infrastruktur partai di seluruh
tingkatan sebagaimana yang termaktub dalam AD/ART partai, tetapi selama setahun
terakhir, praktik tersebut seakan menjadi ritual wajib ketika infrastruktur
partai melaksanakan konsolidasi organisasinya. Penulis sengaja
mengangkat wacana Golkar dan Demokrasi Aklamasi tersebut bukan untuk
menggugat keabsahan praktek aklamasi sebagai sebuah prosedur dan mekanisme
untuk memilih dan mengangkat pemimpin, karena pada dasarnya setiap pemimpin
tentu memiliki klaim bahwa mereka berkuasa berdasarkan prinsip-prinsip
demokratik sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakatnya dan apapun
klaim-klaim itu yang jelas demokrasi memang memiliki tafsir dan dipraktekkan
secara berbeda-beda sesuai konteks permasalahan yang sedang terjadi.
Justru persoalannya adalah, Apakah dinamika dan langgam kekuasaan
di arena internal partai akan bergerak ke arah efektifitas dan efisiensi demi
pencapaian tujuan organisasi daripada tuntutan pertanggungjawaban serta
partisipasi kader dan konstituen? dan Apakah praktik demokrasi aklamasi mampu
menyajikan proses politik di internal partai secara lebih dewasa dan lebih dari
itu mampu menghasilkan pemimpin partai yang sesuai harapan sebagaimana
keinginan untuk mencapai target perolehan suara menjadi pemenang
pada pemilu mendatang?
Demokrasi : antara efektifitas dan efisiensi ataukah pertanggungjawaban dan
partisispasi?
Di semua belahan dunia, para pemimpin mengklaim bahwa mereka berkuasa
berdasarkan prinsip-prinsip demokratik yang mengutamakan kepentingan rakyat
banyak. Para pemimpin Soviet menyebut negara-negara Eropa Timur sebagai Negara“demokrasi
rakyat”. Cina daratan menyebut dirinya Republik Rakyat China. Korea Utara
menyebut rezim mereka dengan Republik Demokrasi Rakyat Korea. Para pemimpin
Afrika juga menyebut rezim-rezim mereka demokratik. Lihat saja bekas Presiden
Ghana Kwame Nkrumah, suatu ketika mengatakan: “ masyarakat Ghana dilihat dari
bentuk maupun tradisinya secara fundamental memiliki kharakteristik
demokratik.”. Termasuk Indonesia di era terakhir rezim Soekarno dikatakan
sebagai negara demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin. Pada era rezim Orde
Baru muncul pula istilah Negara Demokrasi Pancasila. Jika kita ikuti akan kita
ketahui sederet panjang istilah klaim demokrasi mulai dari “demokrasi
konstitusional”, “demokrasi liberal”, “demokrasi rakyat”, sampai dengan
“sentralisme demokratik”, dan lain-lain.
Apapun klaim-klaim itu, yang jelas hal ini menandakan ideology demokrasi
memiliki pengaruh yang luas, kendati seringkali ditafsirkan dan dipraktikkan
secara berbeda-beda. Kuat kecenderungan demokrasi semakin memikat untuk
dijadikan acuan dalam system politik tidak hanya banyak negara, tetapi juga
berbagai organisasi social dan politik. Tercatat bahwa saat ini sekitar 62%
dari 119 negara di dunia yang menjalankan demokrasi. Padahal pada tahun 1900 tidak
ada satu Negara pun yang menerapkan apa yang sekarang dikenal orang sebagai
demokrasi itu.
Dalam arti sempit, demokrasi, seperti dikatakan Schumpeter, merupakan
sebuah metode politik, yakni mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga di
beri kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik
yang bersaing meraih suara. Sementara dalam pengertian secara komprehensif,
gabungan antara pandangan liberal dan tradisi Marxian, bahwa setiap orang
seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya, yaitu mereka
harus memperoleh hak yang sama (dan karena itu juga kewajiban yang sama) dalam
suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia
untuk mereka. Prinsip-prinsip inilah yang disebut sebagai democratic
autonomy yang membutuhkan baik akuntabilitas dalam derajat yang tinggi
maupun partisipasi dari civil society (Sorensen, 2003:14-15)
Dalam hubungan ini, demokrasi tidak dirancang secara khusus demi
efektifitas dan efisiensi, tetapi juga demi akuntabilitas dan partisipasi;
sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat
pemerintahan diktator, meskipun terlalu lambat juga berarti abai terhadap
keinginan publik, namun dalam setiap pengambilan tindakan bisa dipastikan
adanya dukungan publik. Dan demokrasi semestinya juga bukanlah produk yang
telah selesai, melainkan sesuatu yang terus bertumbuh-kembang (Urofsky,
2001:2). Oleh karena terus berproses maka demokrasi pun selalu mendapat
tantangan. Salah satu tantangan itu adalah tidak sekedar kesediaan tapi juga
tanggung jawab rezim yang berkuasa untuk membuat system yang memasukkan
kelompok yang dimarginalkan ke dalam praktik demokrasi yang lebih inklusif
(Mar’iyah, 2005:2).
Pemahaman dikotomik tentang demokrasi antara kubu procedural dan
substansial tersebut bukanlah perbedaan yang tajam dan saling bertentangan.
Dalam uraian yang menarik, Pabottinggi (2007) menyebutkan bahwa antara kedua
kubu atau perspektif itu bersambung satu sama lain. Hampir semua ahli yang
menekankan pentingnya esensi atau substansi tak pernah menomorduakan niscayanya
prosedur demokrasi. Pada yang procedural sekalipun terkandung yang esensial.
Ini berarti bahwa rangkaian proses politik dalam demokrasi diadakan dan
dijalankan pertama kali untuk menjunjung yag esensial. Inti dari keadilan
procedural adalah distribusi kekuasaan, dan dalam konteks inilah, seperti
dikatakan Tornquist (2007), bagaimana demokrasi menjadi bermakna, yakni
demokrasi yang bisa bekerja dan cukup substansial sehingga dapat bermakna bagi
semua.
Demokrasi diperkenalkan sebagai sebuah system politik memang berasal dari
barat. Ia kemudian dibangun secara pesat sebagai suatu rangkaian institusi dan
praktik berpolitik yang sejak lama dilaksanakan untuk merespons perkembangan
budaya serta berbagai tantangan social dan lingkungan di masing-masing negara.
Ketika mulai di transplantasikan ke dalam negara-negara non Barat dan beberapa
negara bekas jajahan yang memiliki sejarah dan budaya yang berbeda, demokrasi
tersebut memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan mengalami
berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang
berbeda. Bahkan menurut Scalapino, ketika institusi dan proses politik
demokrasi dipinjam oleh masyarakat Asia, misalnya, usaha untuk mencocokkannya
dengan kebudayaan asli merupakan pekerjaan yang berat (Chee, 1994:7).
Aklamasi dan strategi konsolidasi organisasi
Proses pemilihan langsung melalui pemungutan suara dalam perkembangannya di
Indonesia memang memberikan kenyataan yang plus-minus dalam kehidupan politik.
Di satu sisi, ia merupakan wujud implementasi demokrasi yang elegan serta
memberi peluang luas bagi partisipasi politik dari siapapun. Ia juga diyakini
dapat mendorong pelaku kekuasaan untuk memiliki akuntabilitas yang tinggi dan responsive
terhadap persoalan masyarakat pemilihnya. Di sisi lain, praktiknya ternyata
masih berbicara lain, Ia masih banyak kekurangan dan terkadang dimanipulasi dan
diselewengkan oleh sebagian kalangan yang ingin mengambil keuntungan melalui
proses-proses demokratis tapi dengan niat-niat politik jahat yang jauh dari
prinsip-prinsip nilai demokratis itu sendiri. Tetapi kekurangan tersebut
bukanlah karena kesalahan demokrasi itu sendiri sehingga ia tidak dapat di
tuding sebagai biang kerok ketidak-beresan, melainkan lebih sebagai konsekuensi
dari masih berprosesnya masa transisi demokrasi. Karena kita juga sedang
memulai dan belajar berpraktik dengan cara demokratis. Meskipun juga
kekurangan–kekurangan serta hadirnya berbagai praktik yang berseberangan dengan
etika dan moralitas politik tidak harus membuat lembaga dan proses demokrasi
itu dibunuh. Yang diperlukan adalah menyempurnakan secara terus-menerus
berbagai aturan main didalamnya, bukan dengan membunuhnya.
Fenomena yang menjadi pemandangan kurang elok dalam proses pemilihan
melalui pemungutan suara diantaranya adalah permainan politik uang,
dalam konteks konsolidasi organisasi partai, fenomena itu kerap terjadi pada
saat pemilihan ketua dan juga pada saat pemilihan formatur -yang biasanya
bertugas untuk menyusun kepengurusan organisasi-. Bukan rahasia lagi jika pada
saat-saat konsolidasi organisasi seperti itu munculnya klausul dalam tatib
pemilihan ketua/formatur yang mensyaratkan dukungan daerah atau cabang, oleh
karena para calon ketua/formatur juga merasa saling membutuhkan, maka
terjadilah praktek transaksi di pasar gelap politik. Harga surat dukungan yang
dikeluarkan bisa bermacam-macam tergantung hasil negosiasi, bahkan bukan tidak
mungkin standar harga yang telah ditetapkan calon lain yang lebih tinggi ikut
mempengaruhi pasaran harga yang telah ditetapkan daerah atau cabang terhadap
calon yang lain.
Praktik transaksi politik lain juga dijumpai dalam momen-momen saat
menjelang pemilihan ketua/formatur. Bursa pasaran harga yang ditawarkan untuk memobilisasi
dukungan saat pemilihan bisa berubah naik/turun dengan cepat sesuai dengan
dinamika proses pemilihan yang terjadi. Jumlah uang beredar dalam momen
konsolidasi organisasi seperti itu bisa mencapai ratusan juta bahkan miliaran
rupiah untuk satu propinsi, dan puluhan sampai ratusan juta untuk satu
daerah.
Bila dihitung secara makro, maka bisa dibayangkan jumlah uang yang beredar
hanya untuk permainan politik uang saat konsolidasi organisasi di 33 propinsi
(muswil) dan kurang lebih 450an kota/kabupaten (musda), sedangkan disisi lain
kebutuhan untuk mengelola organisasi politik, mulai dari melaksanakan
konsolidasi dan koordinasi hingga infrastruktur organisasi terendah, sampai
dengan pelaksanaan program pemenangan pemilu tentu membutuhkan jumlah uang dan
logistic yang boleh dibilang tidak sedikit.
Sangatlah wajar jika beberapa kalangan berpendapat dari sudut pandang
bisnis dan keuangan professional, ternyata mengelola organisasi politik (baca
parpol) dengan kultur yang semacam itu, di luar logika dan kaidah berfikir
manajemen yang benar. Begitulah, praktek money politics itu sesungguhnya ada
dan terjadi dalam pemungutan suara ketika pelaksanaan konsolidasi organisasi
partai yang mengagendakan pemilihan calon-calon pemimpinnya. Ibarat Jin,
permainan politik uang itu barangnya memang tak keliatan tapi tidak jarang bisa
membuat orang kesurupan. Tidak sedikit pula kader-kader partai politik yang
lebih memilih dan mengedepankan calon-calon yang memiliki modal ekonomi kuat,
tetapi kurang menimbang calon pemimpin dengan modal kemampuan politik dan
habitus kepemimpinannya.
Fenomena lain yang juga menjadi pemandangan kurang elok dan selalu
membayangi mekanisme pemilihan seperti itu adalah konflik yang terjadi
pasca pemilihan. Dinamika yang terjadi saat proses pemilihan akan
berpengaruh terhadap eskalasi konflik yang terjadi di antara para calon dan
pendukungnya. Pelaksanaan muswil dan musda yang seharusnya menjadi media untuk
memperkuat kapasitas organisasi dengan penegasan cita-cita dan tujuan
organisasi, serta menjadi media untuk memperkuat tertib organisasi melalui
penyusunan dan pembuatan aturan main, juklak, pedoman bahkan program
organisasi, ternyata malah tidak menjadi perhatian penting kader-kader partai
yang terlibat dan berpartisipasi dalam proses tersebut. Ekses dari konflik
pasca pemilihan yang sering dijumpai adalah pada saat rekrutmen dan penyusunan
komposisi kepengurusan, tidak jarang pula konflik tersebut juga ikut merembet
pada proses konsolidasi di tingkat bawah. Pembelahan kader di daerah itu
terjadi akibat partisipasi mereka dalam proses konsolidasi organisasi di
tingkat atasnya .
Atas dasar persoalan-persoalan itu munculah gagasan, agar proses demokrasi
internal partai tidak dicederai oleh pemandangan kurang elok tersebut, maka
upaya untuk membuat proses konsolidasi organisasi menjadi lebih efektif dalam
arti terhindar atau minim konflik, lebih perhatian terhadap soal-soal substansi
konsolidasi seperti penguatan cita-cita dan perumusan aturan main organisasi
dalam AD/ART, dan menjadi lebih efisien dalam arti tidak
berbiaya tinggi, meminimalisir permainan politik uang, bahkan harapan putaran
uang yang akan dihambur-hamburkan dalam proses konsolidasi nantinya bisa di
simpan untuk mempersiapkan program pemenangan pemilu, maka metode AKLAMASI
menjadi pilihan jalan untuk menghindari metode pemungutan suara karena ternyata
mudlaratnya di anggap lebih besar dari pada manfaatnya berdasarkan konteks
kultur partai yang seperti itu. Selain juga munculnya gagasan agar dalam
pelaksanaan konsolidasi organisasi meniadakan proses pemilihan formatur, serta
ide tentang pentingnya keterlibatan DPP untuk ikut menseleksi kepemipinan di
DPD I dan DPD II melalui kebijakan rekomendasi terhadap calon-calon ketua DPD I
dan DPD II.
Munas IX Partai Golkar 2014
Hampir seluruh pengurus DPD I dan DPD II Golkar hadir dalam pembukaan itu,
langkah Aburizal Bakri memimpin kembali partai golkar semakin mulus dan tidak
terbendung. Hampir dapat dipastikan seluruh Dewan pimpin Daerah Golkar I dan
DPD II memberikan dukungan kepada pria yang biasa dipanggil Ical atau ARB itu.
Dukunganpun semakin kuat karena beberapa jam sebelum munas IX Partai
Golkar dibuka, salah satu calon Ketua Umum, Mohamad Sulaiman (MS) Hidayat
mengundurkan diri dari bursa pencalonan. Hidayat yang juga mantan Menteri
Penindustrian era Pemerintahaan Susilo Bambang Yudoyono dan mantan
Bendahara Partai Golkar pada era kepemimpina Akbar Tanjung secara bulat
mengalihkan dukungan kepada Ical.
Dengan mundurnya MS Hidayat, langkah ical semakin mulus, karena relatif
hanya bersaing dengan Airlangga Hartarto, calon yang berasal dari kalangan
muda.
Sebagaimana diketahui bahwa posisi Aburizal Bakri di partai golkar terlihat
masih sangat kuat dan sulit digoyang. Meski menuai hujan badai kritikan
sepanjang hajatan pesta demokrasi sepanjang 2014, Aburizal masih saja
menggengam dukungan. Bahkan, dua sejarah barupun tak mustahil direngkuh untuk
Golkar. Yaitu, Aburizal sebagai Ketua Umum Golkar yang untuk pertamakalinya
membawa golkar berada diluar kekuasaan, dan Aburizal sebagai figur yang
berhasil menjadi ketua umum untuk dua periode, juga dipastikan ARB akan
terpilih secara Aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Golkar di Munas Bali. Dan
ini semakin menguatkan posisi golkar di KMP sebagaimana pidato ARB pada
pembukaan Munas di The westin Resort Nusa Dua, Bali, Ahad (30/11/2014).
Terakhir, jadi sejatinya Aklamasi tak bertentangan dengan Demokrasi karena
prosesnya sama – sama dipilih secara Musyawarah Mufakat karna aklamasi adalah
Demokrasi Musyawarah.
(Di muat di Harian Umum Kabar Banten edisi Selasa 9 Desember 2014)
Komentar
Posting Komentar