POLITIK NABAWI
~ Orang Barat
lebih melihat ke bumi, orang Timur lebih melihat ke langit ~
Ungkapan diatas, dikutip dari Sayid Muhammad Baqr
Ash-Shadr, ini merupakan justifikasi yang memang terjadi pada realita kehidupan
saat ini. Orang barat yang tergila-gila dengan konsep imperialisnya, yang
menghendaki pemenuhan kepuasan kepada materi sementara orang Islam berpolitik
di muka bumi sebagai Khalifah sebagaimana titah dari langit, sehingga
bertendensi religius.
Adrian
Leftwich, di dalam bukunya What is Politics ? The Activity and Its
Study (Oxford and New York, Blackwell, 1984: 64), menjelaskan bahwa politik
adalah jantung dari semua kegiatan sosial kolektif, formal mau pun informal,
publik dan privat, di dalam semua kelompok-kelompok manusia, lembaga-lembaga
dan masyarakat, dari mulai interaksi sosial keluarga sampai interaksi di dalam
bangsa dan mau pun lintas bangsa. Yang membedakannya dari interaksi sosial
biasa adalah bahwa politik melahirkan kekuasaan yang memperhatikan penciptaan,
pendistribusian dan penggunaan sumber-sumber keberadaan sosial manusia. Dengan
demikian, politik memunculkan dimensi kekuasaan pengambilan keputusan,
kekuasaan atas agenda setting dan kekuasaan atas kontrol
pemikiran.
Kata politik
pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau Latin politicos yang berarti
relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya)
mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.’’ Juga dalam arti ’’kebijakan,
cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu maslaah).’’
Jika politik
secara hakiki dipandang sebagai proses interaksi antar elemen di dalam suatu
negara atau dunia yang berisikan konflik dan konsensus, maka politik dapat
dimaknakan sebagai suatu perjuangan memperebutkan sumber-sumber yang terbatas
melalui kekuasaan di tengah-tengah hasrat (desire) atau
keinginan manusia yang cenderung tidak terbatas. Dengan begitu, menjadi penting
pula membicarakan bagaimana proses-proses serta hasil-hasil pengambilan
keputusan kebijakan publik dilakukan, siapa menentukan apa dan mendapatkan apa
dan bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi di dalam pembuatan kebijakan
pendistribusian sumber-sumber yang ada di sebuah negara. Juga membicarakan
kepentingan-kepentingan apa saja dan siapa saja yang berkonflik di dalamnya
serta apa isi konsensus yang dijadikan patokan hidup bersama, adil kah
konsensus itu atau sebaliknya hanya menguntungkan satu atau beberapa golongan
tertentu di dalam masyarakat.
Politik tidak
identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu
bagian penting politik adalah pemerintahan.
Politik juga bisa dimaknai sebagai seni mengelola
perubahan. Malik bin Nabi memberikan gambaran bahwa politik adalah “aktivitas
yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan
–negara dan masyarakat- yang sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam
rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu
dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya
yang kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur
dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru secara harmonis”.
Dalam pandangan itu, politik pada akhirnya adalah
“penciptaan kultur”; yang oleh karena itu, dalam pandangan Malik bin
Nabi, aktivitas membangun taman di kota Kairo juga berarti aktivitas politik.
Zaki Najib Mahmud berpendapat bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi
tempat kita hidup ini mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial.
Politik berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita
menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka sendiri.
Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani
pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat
merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.
Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah
hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu
Aqil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan
bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh
Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas
sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al
Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal
maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus
persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan
hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi
jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”.
Sedangkan sisi eksternal politik dalam wacana Al Banna
adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai
tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta
membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam
urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas
mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada
persoalan-persoalan bangsa”.
Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa
cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang
memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam
urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan
pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas
kerasulan yang penting, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka
Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (Al
Hadid: 25).
Sejarah mencatat bahwa usia dunia politik adalah seusia kehidupan manusia. Dalam kisah Nabi-nabi terdahulu, manusia sudah mengenal system pemerintahan, seperti zaman Nabi Ibrahim dengan rajanya “Namrudz” yang terkenal lalim*.
Politik Islam dalam sejarahnya pernah menjadi mercusuar dunia, melampaui dua peradaban besar ketika itu, yakni Romawi dan Persia. Namun, hukum sejarah seperti diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya berlaku, bahwa sejarah manusia adalah sejarah jatuh bangunnya kekuasaan (pemerintahan) atau dominasi. Ini pula yang dialami Islam.
Abad ini disebut-sebut, misalnya oleh John L Esposito,
sebagai abad kebangkitan Islam (revivalisme Islam), dimana Islam sebagai
kekuatan politik dan kultural di berbagai belahan dunia, baik itu di dunia
Islam sendiri maupun di dunia non Islam, tengah mengalami intensitas
peningkatan cukup signifikan, yang tercirikan dengan makin tumbuh suburnya
gerakan-gerakan Islam, dari yang berkarakter moderat hingga radikal. Dari yang
radikal lunak (soft) hingga radikal yang keras (hard), yang mengambil jalan
kekerasan.
Substansi dari semua gerakan itu adalah spirit
memposisikan (menegaskan identitas) dan bagaimana memproyeksikan Islam di
lingkungan dunia yang saat ini telah mengalami perubahan begitu cepat dan
drastis, yang ditandai dengan kemajuan-kemajuan terutama di bidang teknologi
(modernisasi) hampir di semua sisi kehidupan. Dengan kata lain, baik itu
gerakan yang moderat maupun radikal, sesungguhnya membawa semangat revivalisme
Islam.
Menurut
Esposito dalam bukunya, Islam: The Straight Path (1988), meski
ada perbedaan-perbedaan khas dalam hal interpretasi, kerangka ideologis umum
revivalisme Islam mencakup tujuh keyakinan.
§
Pertama, Islam adalah
pegangan hidup yang lengkap dan total. Agama integral dengan politik, hukum,
dan masyarakat.
§
Kedua, kegagalan
masyarakat-masyarakat Muslim disebabkan oleh penyimpangan mereka dari jalan
lurus Islam dan mengikuti jalan sekuler Barat, dengan ideologi dan nilai-nilai
yang sekuler-materialistis.
§
Ketiga, pembaruan masyarakat
mensyaratkan kembali pada Islam, sebuah reformasi atau revolusi religio-politik
yang mengambil inspirasinya dari Al Quran dan gerakan besar Islam pertama yang
dipimpin oleh Nabi Muhammad.
§
Keempat, untuk memulihkan
kekuasaan Tuhan dan meresmikan tatanan sosial Islam sejati, hukum-hukum
berinspirasi Barat harus digantikan dengan hukum Islam, yang merupakan
satu-satunya cetak biru yang bisa diterima bagi masyarakat Muslim.
§
Kelima, meski westernisasi
masyarakat dikecam, modernisasi tidak. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterima,
tapi keduanya harus ditundukkan di bawah akidah dan nilai-nilai Islam, demi
menjaga dari westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Muslim.
§
Keenam, proses Islamisasi,
atau lebih tepatnya, re-Islamisasi, memerlukan organisasi-organisasi atau
serikat-serikat Muslim yang berdedikasi dan terlatih, yang dengan contoh dan
kegiatan mereka, mengajak orang lain untuk lebih taat dan organisasi
orang-orang Muslim yang ingin berjihad melawan korupsi dan ketidakadilan
sosial.
§
Ketujuh, Revivalisme Islam
menginginkan kembalinya Islam sebagai mercusuar dunia seperti yang pernah
dialami di masa lalu, dalam segala bidang, baik itu agama, politik, ekonomi,
budaya, bahkan sains dan teknologi. Keinginan ini barangkali terlalu utopis,
jika melihat bagaimana dominasi kekuatan dunia saat ini bukan lagi terletak
pada persoalan semata-mata politik kekuasaan, yakni bagaimana negara-negara di
seluruh dunia bersatu dalam satu pemimpin (khilafah), misalnya, tapi saat ini
dominasi itu ada pada kekuatan ekonomi pasar yang bahkan bisa mengalahkan
kebijakan sebuah negara.
Adalah penting untuk membuka kembali lembaran sejarah
Nabi Muhammad SAW serta mencontoh keteladanannya dalam mengelola kekuasaan
dalam menciptakan kebaikan kualitatif maupun kuantitatif. Apalagi bagi umat
Islam Muhammad bukan sekadar cermin teladan (uswah hasanah) dalam masalah
rohani, melainkan juga contoh ideal seorang pemimpin duniawi.
Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw, tidak sebatas urusan
agama semata, akan tetapi beliau juga pemimpin sebuah negara yang mempunyai
wilayah kekuasaan, rakyat, dan sistim ketatanegaraan.
Ali Syariati
yang menggambarkan sosok, karakter, dan perilaku Nabi dalam tulisannya yang
berjudul A Visage of Prophet Muhammad. Diantara sosok Nabi menurut
Syariati, Sosok Nabi sebagai pemimpin militer : “”Tidak ada pemimpin militer,
sehubungan dengan operasi militernya sendiri, yang mampu melibatkan dirinya
dalam perang sebanyak itu, (64 atau 65 kali) dalam sepuluh tahun
kepemimpinannya di bidang sosial dan politik,” tutur Syariati.
Namun, Syariati tidak melihat Nabi sebagai pemimpin
militer belaka. Ia pun mencatat rincian-rincian lainnya mengenai sosok Nabi
yang memperlihatkan kualitas kemanusiaannya yang terpuji.
Tidak dilupakan, misalnya, bahwa sebagai pemimpin yang
mampu menandingi bahkan meruntuhkan sejumlah kekaisaran besar pada zamannya,
Nabi berkenan menerima seorang wanita yang selama sekitar satu jam mengadukan
masalah rumah tangganya. Juga sekali waktu, sepulang berperang, Nabi turun dari
kudanya dan menemui seorang buruh kecil yang terkucil. Diciumnya tangan sang
buruh yang kasar itu.
Marshal G
Hodgson dalam tulisannya yang bertajuk The Venture of Islam,
mengungkapkan, “Masyarakat Muhammad terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim
dalam berbagai ragam derajat keanggotaan.”
Sejak saat itu, tulis Hodgson, komunitas itu tak lagi
sekadar sebuah suku baru yang terdiri dari orang-orang beriman atau bahkan
sekedar perkumpulan revolusioner lokal. ‘’Masyarakatnya terdiri dari
berbagai unsur heterogen yang diorganisasi secara lebih baik dibandingkan
sistem organisasi masyarakat Makkah, baik secara religius maupun politik,’’
papar Hodgson.
Struktur politik yang dibangun Muhammad, papar
Hodgson, merupakan bangunan yang kini dikenal dengan sebutan negara, seperti
negara-negara lain yang ada di sekeliling Jazirah Arab, lengkap dengan otoritas
tata pemerintahan yang berdasarkan aturan hukum.
Dalam praktek kenegaraan yang dijabarkan oleh nabi
adalah membangun negara Madinah dan pemerintahannya, dan dilanjutkan oleh
penerus beliau 4 (empat) khalifah yang terkenal (Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali) yang dikenal dengan panggilan Khulafaurrasyidin Ahmadiyyin (Pemimpin yang
cerdas dan mendapat petunjuk). Sejatinya Islam adalah agama yang sempurna
termasuk sistim politik dan Ketatanegaraan, maka tidak perlu bagi umat Islam
mengimport sistem politik Barat yang sangat kental dengan sekularismenya.
Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang
memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan
bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan
pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai. (HR. Ath-Thabrani)
Komentar
Posting Komentar