Al-Qur'an Sumber Transformasi Budaya
Alquran tetap untuk diposisikan sebagai
sumber transformasi budaya, karena sebagian kitab suci yang diyakini
berupa wahyu Tuhan Pemelihara alam semesta, tidak hanya berisi
norma-norma yang menjadi pendirian hidup individual dan masyarakat,
tetapi juga mengandung sejumlah permisalan mengenai budaya umat
trdahulu, baik yang sudah binasa maupun yang masih terpelihara
eksistisinya dewasa ini.
Budaya atau kebudayaan, dipahami sebagai
tri potensi manusia, berpikir, berkemauan dan berperasaan yang terjelma
dalam kumpulan ilmu pengetahuan, kaidah-kaidah sosial dan kesenian.
Dalam pengertian ini tergambar adanya proses yang menjadikan
manusia-individu dan masyarakat sebagai wadah pembentukan potensi yang
dijelmakan dalam bentuk logikla,etika dan estetika. Sedang transformasi
diartikan pengubahan bentuk, sifat atau fungsi budaya yang dijelmakan
melalui logika, etika dan estetika pada kesadaran, tingkah laku dan
sikap manusia.
Dari pengertian leksikal itu dan dari
celah-celah dinamika peradaban Islam itu dapat ditarik benang merah
sebagai menjadikan Alquran sebagai sumber transformasi budaya.
Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial terikat
dengan lingkungannya. Ikatannya adalah kebudayaan yang diperoleh melalui
proses belajar. Proses belajar dimungkunkan, karena dalam kebudayaan
terhadap sejumlah kaidah, aturan dan kategori, yang dapat diketahui
melalui pengalaman dan pengamatan terhadap lingkungan sosial,
selanjutnya pencocokan dengan pengetahuan yang sudah diketahui
sebelumnya, dan akhirnya pengiterpretasikan dengan kembali mengadakan
sistematisasi dan kategorisasi.
Dalam proses analisis dan interprestasi,
manusia selalu dihadapkan dengan ‘’model pengetahuan’’ yang telah
diketahui terlebih dahulu. Model pengetahuan ini, memiliki variasi yang
beraneka ragam, terkait dengan keragaman pengalaman dan pengamatan
terhadap lingkungan sosial.kaitan atau hubungan antara model-model
pengetahuan membentuk sistem dan pola pikir. Inilah yang merupakan
hakekat kebudayaan.
Manusia dapat membedakan
kategori-kategori dari setiap model dan setiap sistem dalam pola pikir,
secara bersama dan tersebar luas. Misalnya: Masjid,pasar, dan nightclub
adalah simbol, ada modelnya dalam pola pikir manusia.
Mesjid sebagai simbol, dapat menjadi
refens sistem religi –tempat shalat-, juga sistem teknologi –arsitektur
-. Demikian pula pasar dan naightclub kedua adalah simbol untuk sistem
ekonomi dan estetika, tersediri atau keduanya-keduanya sekaligus. R
Alquran adalah wahyu Allah swt. Yag
diturunkan kepada Muhammad saw. (rasul-Nya), sebagai hudan-petunjuk bagi
manusia untuk kebahagiaan hidupnya dunia-akhirat Assunnah juga adalah
wahyu (Q.S. An-Najm 53: 1-11:
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ
وَهُوَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَىٰ
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ
فَأَوْحَىٰ إِلَىٰ عَبْدِهِ مَا أَوْحَىٰ
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَىٰ
Yang artinya:
Demi bintang ketika terbenam.kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.sedang dia berada di ufuk yang tinggi.Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Meskipun untuk menyakini kewahyuanya diperluka proses pentarjihan ke-shahihan sanad maupun matan-Nya.
Wahyu diimai dan dipahami sebagai irfaun
–pengetahuan – datang dari Allah Rab al-‘Alami, dengan perantaraan,
misalnya melalui studi emperik, reflektif dan intesif terhadap mushaf
Alquraan dan periwayarta Assunnah, ataupun tanpa perantara, misalnya
melalui proses ilmu ladui –studio nonemperik dan non intensif. Dalam
transformasi budaya bagi umat Islam, unsur wahyu ii domunal, pada titik
berangkatnya, pada tujuan antara dan tujuan akhirnya, pada proses
pelaksanaannya, serta pada produksi yang dihasilkanya.
Titik Temu Alquran dan Budaya
Alquran dan budaya dapat saling isi dan
terintegrasi, karena kesamaan unsur esensial. Esesni budaya adalah
‘’pengetahuan’’ yang dapat megendap dalm pola dan tata pikir yag
berfungsi untuk merespons setiap siti mulus dari lingkungan sosial,
melalui simbol-simbolbahasa. Bedanya yang menojol, simbol wahyu,
berbahasa Arab, dari Allah swt. Diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dengan perantara Jibril, ataupun yang tidak; sementara itu simbol
budaya, merupakan rumusan manusia dengan beragan bahasa, yang diperoleh
lewat pewarisan pengalaman terhadap lingkungan sosialnya.
Meskipun wahyu sumbernya dari Allah
‘Alim al-Gaib wa as-Syahadah; namun itu memahami dan mengamalkan
petunjuk yang dikandungnya, manusia mengunakan simbol kebudayaan menurut
bahasa yang dipahaminya. Di sini letak titik temu, antara simbol wahyu
yang transedental dan simbol budaya yang kategorikal.
Tetapi –bagi umat Islam – kare sumber
wahyu transedental, maka diimai mutlak benarnya. Allah berfirman di
dalam Q.s. Ali Imran 3: 60, berbunyi:
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُن مِّنَ الْمُمْتَرِينَ
Yang artinya:
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Sedang sumber budaya adalah manusia
sendiri yag ada dalam dinamika perubahan dan perkembangan, maka wahyu
menjadi rujukan dalam pengembangn kebudayaan. Titik temu ini membawa
integrasi wahyu dalam kebudayaan. Proses integrasi terjadi waktu
penafsiran ayat-ayat Alquran dan pensyaraha Assunah as-Shahihah, dengan
menggunakan metode dan sistimatika disiplin ilmu tertentu, dalam ragka
merespon problem hidup dari berbagai aspekya.
Manusia selaku hamba Allah dan sekaligus khalifa-Nya di dunia ini, sebagian mukmin, dan sebagian kafir (Q.S. Al-Taghabun 64: 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنكُمْ كَافِرٌ وَمِنكُم مُّؤْمِنٌ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Yang artinya:
Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Namun tidak analogi, bahwa umat Islam
melahirkan, budaya Islam, sedang yang fakir melahirkan budaya kafir.
Wahyu teritegrasi dalam kebudayaan sejak manusia menghunni bumi ini,
sampai kiamat; sedang manusia mukmin da non mukmin terlahir baik selaku
individu, maupun sebagai umat pada gilirangnya berhadapan degan ajal dan
kematian (Q.S. Al-Am 6: 60).
وَهُوَ
الَّذِي يَتَوَفَّاكُم بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِالنَّهَارِ
ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَىٰ أَجَلٌ مُّسَمًّى ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ
مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Yang artinya:
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.
Disini unik dan komplesitasnya; budaya
bertumbuh dan berkembang terus, sebab dunia belum kiamat; dari mitis, ke
otologis, sampai kepemikiran fungsional dewasa ini. Sementara umat
seperti kaum Add, kaum Tsamud dan semisalnya telah punah dan binasa.
Sebagian yang lain tetap terpelihara eksistensi budayanya dari masa pra
sejarah, misalnya Bani Israil, Yahudi dan Nasrani; serta sebagian yang
lain baru muncul belakangan, misalnya umat Islam. Malah tidak tertutup
kemukinan lahirnya generasi baru pada masa yang akan datang.
Alquran dan Transformasi Budaya
Umat Islam –yang disebut sebgai khairah
ummah dari rasulullah yang paling akhir, karena merupakan ummatan
wasathan dan syuhadaa ‘ala an-nas, memang selalu dituntut untuk
mentransformaskan Alquran dan Assunnah agar fungsional dewasa ini.
Budaya fungsional, meletakkan perkembangan kebudayaan pada harakat dan
martabak dari diri manusia sendiri; tidak berasal dari luarnya. Ini
merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi rancangan suatu
transformasi budaya, yaitu meletakkan iman sebagai nafas dari
kebudayaan.
Strategi ar-Ruju’ ila al-Qur’an wa
as-Sunnah –kembali kepada Alquran dan Assunnah, nampaknya masih
merupakan strategi yang ontologis dalam suati transfoemasi. Dituntut
rumusan baru yang bersifat fungsional, yaitu dengan menyatukan dimensi
ajaran kembali kepada Alquran dan Assunnah dapat menjadi rujukan dalam
pola pikir budaya, pada: sistem logika, sistem etika dan sistem
estetika.
Alquran sebagai sumber transformasi
budaya antara lain doa Nabi Ibrahim as. Memohon agar Makkah dan
sekitarnya menjadi negeri yang aman dan damai, seperti yang terekam
dalam dua suntingnya ayat dibawah ini:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ
Yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ
أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ
إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”.
Harapan yang dipinta sekali al-baladan
aminan, kali lain baladan aminan. Pengguna makrifah pada yang pertama
dan nakirah pada yang kedua, meski mengandung perbedaan penafsiran;
misalnya yang nakirah mengandung arti Makkah arti Makkah aman dan
sejahtera saat Ibrahim dan puteranya mendiami wilayah itu; namun, dari
kedua kepingan ayat dapat diperoleh isyarat mengenai asas budaya
fungsional baladan aminan itu:
Negeri yang dicintai dan dirindui
warganya lantaran disamping menjanjikan kesejahteraan lahir, buah-buahan
melimpah tanpa terpengaruh musim, juga menjanjiakn keteteraman batin,
penduduknya senantiasa dapat menyatakan kesyukuran kepada Allah swt.
Tanpa rasa takut sedikitpun.
Adapun balatun tayyibah wa rabbun gafur, al-Quran menyebutkan pernah menjadi ‘’logo’’ negeri Saba.
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ
وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Yang artinya:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”.
Negeri itu merupakan pemukuman
kebudayaan yang aman dan menyenangkan, diapit dua lembah yang subur dan
tertata apik. Dari ayat tersebut dapat tersirat budaya fungsuinel:
Penduduk suatu negeri (pemilik
kebudayaan) dapat menikmati rezki dari Allah swt. Jika senantiasa dapat
menghaturkan syukur kepada-Nya.
Tapi saat mereka lalai dan ingkar
nikmat, ‘’logo’’ itu tercabut dengan sendirinya, negeri mereka porak
poranda dilanda banjir bandang, dan kehudupan menjadi sulit dan tak
menentu (Q.S. Saba 34: 15-18).
Baik baladan aminan, maupun baldatun
tayyibatun, kebudayaanny asimbol quraniyah yang normatif, memerlukan
transformasi dari umat Islam sebagai pemegang gelar ummatan wasathan
(bangsa yang moderat) dan khairah ummah (bangsa yang unggul) dalam wujud
kebudayaan Islam, yang berdampingan dan berinteraksi dengan kebudayaan
lain sebagai bagian budaya gelobal dunia.
Komentar
Posting Komentar