Aktualisasi Nilai Nilai Shalat
Salah satu hadiah Rasulullah SAW di dalam perjalan isra dan mi’rajnya
adalah shalat lima waktu. Hal tersebut diertegas oleh Rasulullah di
dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan, antara lain, al-Iman Muslim
yang berbunyi:
“Dari Murra, dari Abdullah beliau berkata bahwa ketika rasulullah diisra’kan oleh Allah beliau tertahan (hanya bisa sampai) di Sidratil Muntaha… maka (pada saat itu) beliau dianugerahkan 3 hal; shalat lima waktu, ayat-ayat terakhir al-Baqarah, dan ampunan bagi orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu”.
Di dalam Alquran ditemukan sejumlah ayat yang memerintahkan pelaksanaan shalat . ayat –ayat tersebut pada umumnya diawali dengan kata terambil dari kata yang berarti berdiri, padahal tidak demikian. Para ulama berbeda pendapat tentang makna asal kata tersebut. Ada yang berpendapat ia terambil dari kata yang digambarkan tertancapnya tiang sehingga ia tegak lurus dan mantap. Ada juga yang mengatakan bahwa ia terambil dari kata yang melukiskan pelaksanaan sesuatu dengan giat dan benar. Betapapun beraneka pendapat tentang asal maknanya, tetapi tidak ditemukan seorang ulama pun yang memahaminya dalam arti berdiri atau mendirikan. Bahkan, kitab tafsir yang paling singkat dan sederhana pun, al-jalalin, menjelaskan kata dengan melaksanakan shalat berdasarkan hak-haknya, yakni dengan khusyuk sesuai syarat, rukun, dan sunnahnya, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Hanya saja, jika kita mencoba mengkaji istilah khusyuk baik di dalam
alquran maupun dalam hadis-hadis rasullah SAW, tidak dikemukakan
penjelesan makna kata tersebut. Bahkan penjelasan khusyuk di dalam
shalat juga tidak ditemukan di dalam kitab-kitab fikih yang telah
ditulis oleh para fuqaha. Padahal, kita tentu sepakat bahwa shalat yang
dinilai dan diterima oleh Allah adalah Shalat yang khusyuk.
Khusyuk
sebagai dikemukakan oleh ahli tasawwuf, tidak lain kecuali dzikir di
dalam shalat. Sebab tidak bernilai apa apa kecuali dzikir, seperti
firman Allah SWT dalam QS. Thaha 20:14:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Yang Artinya:
Ayat
diatas dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan shalat sebenarnya hanyalah
untuk mengingat atau dzikir kepada Allah SWT. Kata Dzikir dari segi
bahasa berarti menyebut atau mengingat. Atas dasar ini, para agamawan
memperkenalkan dua macam dzikir, yaitu dengan lidah / bi al-lisan dan
dengan hati / bi al-qalb. Disamping itu, dzikir juga mempunyai dua sisi,
sisi pasif san sisi aktif. Yang pertama berfungsi mengosongkan hati
dari segala yang menggundahkannya, dan yang kedua menghiasi jiwa dengan
kehadiran Allah SWT.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang melaksanakan shalat dengan
khusyuk, yaitu dengan dzikir, interaktualisasi didalam dirinya hati yang
tenang, pikiran yang cerah, positif thingking. Dan berlapang dada.
Ingatannya kepada Allah menjadikan ia terhindar dari dengki, kikir,
riya, angkuh dan berkesinambungan. Betapa tidak, bukankah ia hidup
bersama allah, merasa kuat dengan-Nya sambil menyerahkan diri kepada-Nya
setelah melakukan segala upaya.
Inilah antara lain kandungan janji Allah dalam QS Al-Rad 13:28:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Yang Artinya:
Hati
yang damai, tenteram dan berbagai sifat yang baik tentu akan
mencerminkan dalam kehidupan pribadi seorang mushalli yang khusyuk.
Mereka tidak akan melakukan sesuatu aktifitas yang melanggar syariat
karena hatinya selalu berdzikir kepada Allah. Sebaliknya, orang
melaksanakan shalat hanya untuk melepaskan kewajiban dan bukan sebagai
kebutuhan rohaniah, maka nilai shalatnya akan minim dan mungkin bahwa
tidak bernilai apa-apa di sisi Allah. Itulah, antara lain dari diri
Allah mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjaga shalat dan
jangan bersifat lalai didalam melaksanakannya. Hal tersebut dipertegas
oleh Allah di dalam QS Al-Maa’un 107:1-5:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Yang Artinya:
Menurut
al-Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Quran
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata sahun lalai adalah:
- Tidak ada rasa penyesalan dan rasa takut ketika ia meninggalkan shalat;
- Tidak shalat tepat waktu;
- Tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya.
Ketiga
kriteria yang dikemukakan diatas memang sangat memungkinkan seseorang
untuk tidak khusyuk di dalam shalat . orang yang shalat pada akhir waktu
umpamanya, akan selalu terburu-buru bagaikan orang dikejar. Itulah
sebabnya Rasul SAW menganjurkan untuk shalat pada awal waktu karena juga
akan berpengaruh terhadap penyempurnaan ruku dan sujud seseorang.
Ada
dua perintah Allah yang sering disebutkan secara bergandengan, yaitu
perintah untuk menegakkan shalat dan perintah untuk mengeluarkan zakat.
Perintah pertama lebih menekankan hubungan kepada Allah, sedangkan yang
kedua lebih menekankan hubungan kepada sesama manusia. Akan tetapi,
tidak berarti kedua perintah tersebut hanya memiliki satu bentuk
hubungan. Shalat tidak berarti jika hasilnya hanya akan melepaskan
kewajiban kepada Allah. Shalat itu dianggap berarti jika dapat
berpengaruh di dalam pergaulan kepada sesama manusia. Ini juga dapat
berarti bahwa shalat memiliki dimensi sosial. Seseorang yang melakukan
kedzaliman begitu pula mereka yang tidak peduli kepada orang-orang yang
ada disekitar mereka dapat disebutkan bahwa nilai-nilai shalatnya belum
teraktualisasi di dalam kehidupan mereka.
Apa
yang digambarkan diatas tampaknya menunjukkan bahwa dzikir di dalam
shalat yang merupakan inti kekhusyukan sangat susah untuk dilakukan.
Tetapi hal itu tidak berarti tidak bisa dilakukan. Olehnya itu, menurut
CeramahPidato.Com, untuk mendapatkan kekhusyukan di dalam shalat, salah
satu cara yang harus ditempuh adalah dengan membiasakan diri
melaksanakannya. Mungkin pada awalnya masih susah untuk khusyuk, tetapi
jika dilakukan secara berkelanjutan maka dengan sendirinya akan muncul.
Inilah mungkin salah satu rahasia mengapa Rasullullah SAW menganjurkan
kepada orang tua untuk mengajarkan shalat kepada anak-anaknya sejak
dini.
Yang
jelas bahwa kita shalat harus dikerjakan sebagai washillah kepada Allah
SWT apabila washillah tersebut terputus maka hubungan kepada Allah
menjadi terputus. Apabila hal tersebut terjadi maka sangat memungkinkan
hubungan sosial kepada sesama manusia juga terputus karena orang seperti
ini tidak mendapat hidayah dari Allah SWT. Untuk mendapatkan hidayah
darinya, jalan yang paling ampuh adalah melalui media shalat, karena
didalamnya diajarkan bagaimana memaksimalkan ingatan kepada-Nya. Dan
selanjutnya orang yang banyak mengingat Allah tentu dengan sendirinya
selalu terhindar dari perbuatan yang fakhsya’ dan mungkar, baik kepada
Allah juga kepada sesama manusia, bahkan kepada mahluk Allah yang lain.
Komentar
Posting Komentar