Zakat Sarana Kesejahteraan Umat
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan yang akan
menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita”. (QS Al Baqarah: 277)
![Mekah](file:///C:\Users\User_2\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.gif)
Islam adalah ajaran yang komprehensif yang mengakui
hak individu dan hak kolektif masyarakat secara bersamaan. Sistem Ekonomi
Syariah mengakui adanya perbedaan pendapatan (penghasilan) dan kekayaan pada
setiap orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap
orang dengan syarat bahwa perbedaan tersebut diakibatkan karena setiap orang
mempunyai perbedaan keterampilan, insiatif, usaha, dan resiko.
Namun perbedaan itu tidak boleh
menimbulkan kesenjangan yang terlalu dalam antara yang kaya dengan yang miskin
sebab kesenjangan yang terlalu dalam tersebut tidak sesuai dengan syariah Islam
yang menekankan sumber-sumber daya bukan saja karunia Allah, melainkan juga merupakan
suatu amanah. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengkonsentrasikan
sumber-sumber daya di tangan segelintir orang.
Kurangnya program yang efektif untuk mereduksi
kesenjangan sosial yang terjadi selama ini, jika tidak diantisipasi, maka akan
mengakibatkan kehancuran umat yang lebih parah. Syariah Islam sangat menekankan
adanya suatu distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata sebagaimana yang
tercantum dalam Al Quran Surah Al Hasyr ayat 7.
Salah satu cara yang dituntut oleh Syariah Islam atas
kewajiban kolektif perekonomian umat Islam adalah “lembaga zakat”. Secara
teknik, zakat adalah kewajiban financial seorang muslim untuk membayar sebagian
kekayaan bersihnya atau hasil usahanya apabila kekayaan yang dimilikinya telah
melebihi nishab (kadar tertentu yang telah ditetapkan).
Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan
masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran
terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan
pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok.
Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang
soio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua
orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan
oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Dalam kenyataan yang terjadi saat ini di Indonesia,
zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat (BAZ) tidak signifikan dengan jumlah
penduduk muslim yang ada. Kecilnya penerimaan zakat oleh BAZ bukan hanya
disebabkan oleh rendahnya pengetahuan agama masyarakat, tetapi juga disebabkan
oleh rendahnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakat melalui BAZ yang
mengakibatkan masyarakat condong menyalurkan zakat secara langsung kepada
orang, yang menurut mereka, berhak menerimanya. Sehingga tujuan dari zakat
sebagai dana pengembangan ekonomi tidak terwujud, tetapi tidak lebih hanya
sebagai dana sumbangan konsumtif yang sifatnya sangat temporer, sebagai contoh
adalah pemberian zakat di bulan Ramadhan yang digunakan sebagai pemenuhan
kebutuhan konsumsi si miskin di hari Raya, dan setelah hari Raya mereka kembali
tidak tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Pembagian dana zakat, sebenarnya, harus memberikan
keutamaan dengan tujuan yang memungkinkan si miskin dapat menjalankan usaha
sehingga mampu berdikari, sebab merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim
untuk dapat menghidupi dirinya.
Ajaran Islam sangat melarang seseorang menjadi
pengemis untuk menghidupi dirinya. Dengan demikian dana zakat, juga infaq &
sadaqah, hanya dapat menjadi suplemen pendapatan permanen bagi orang-orang yang
benar-benar tidak dapat menghidupi dirinya lewat usahanya sendiri karena ia
seorang yang menderita cacat seumur hidup atau telah uzur. Sedangkan bagi yang
lain, dana tersebut harus digunakan sebagai bantuan keringanan temporer
disamping sumber-sumber daya esensial untuk memperoleh pelatihan, peralatan,
dan materi sehingga memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang mencukupi.
Dengan demikian, penggunaan dana zakat secara
profesional akan memungkinkan si miskin berdikari dalam sebuah lingkungan
sosio-ekonomi yang menggalakkan industri kecil-mikro dan kemudian akan
berdampak mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial-ekonomi.
Di dalam Al Quran, zakat mempunyai beberapa istilah,
yakni zakat, sadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Namun yang berkembang pada
masyarakat di Indonesia adalah istilah “zakat” digunakan untuk sadaqah wajib,
sedangkan “sedekah” digunakan untuk sadaqah sunah.
Zakat, sebenarnya, bukan monopoli ajaran Islam karena
instrumen sejenis juga ditemui dalam ajaran lain. Dalam ajaran Hindu disebut
“datria datrium”, ajaran Budha menyebut “sutta nipata”, sedangkan ajaran
Kristiani mengenal “tithe” yang didefinisikan sebagai bagian dari pendapatan
seseorang yang ditentukan oleh hukum untuk dibayar kepada gereja bagi
pemeliharaan kelembagaan, dukungan untuk pendeta, promosi kegiatannya, dan
membantu orang miskin. Dalam kenyataan di lapangan, “tithe” lebih berhasil
dibandingkan “zakat”, padahal kewajiban “tithe” adalah 10%, sedangkan “zakat”
hanya 2,5%.
Menurut ajaran Islam, pembayaran zakat bukan merupakan
suatu bentuk kepemihakan kepada si miskin. Karena, si kaya bukanlah pemilik
riil kekayaan tersebut. Mereka hanya pembawa amanah sebagaimana yang
dikemukakan dalam Surah Al Hadiid ayat 7. Si kaya harus membelanjakan hartanya
menurut persyaratan amanah dan yang paling penting salah satunya adalah
memenuhi kebutuhan orang-orang miskin.
Diharapkan setiap Muslim yang sadar akan kewajiban agamanya,
selalu bersedia membayar zakat, jika ia bertindak secara rasional untuk
menjamin kepentingan jangka pendek dan jangka panjangnya, mencari keridhoan
Allah SWT dalam kekayaannya di dunia dan akhira. Rasulullah menegaskan bahwa
pembayaran zakat tidak akan mengurangi kekayaan seseorang.
Menurut Dr. Umer Chapra, zakat mempunyai dampak
positif dalam meningkatkan ketersediaan dana bagi investasi sebab pembayaran
zakat pada kekayaan dan harta yang tersimpan akan mendorong para pembayar zakat
untuk mencari pendapatan dari kekayaan mereka, sehingga mampu membayar zakat
tanpa mengurangi kekayaannya.
Dengan demikian, dalam sebuah masyarakat yang
nilai-nilai Islam-nya telah terinternalisasi, simpanan emas dan perak serta
kekayaan yang tidak produktif cenderung akan berkurang, sehingga meningkatkan
investasi dan menimbulkan kemakmuran yang lebih besar.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Neal Robinson,
Guru Besar pada Universty of Leeds, yang mengatakan bahwa zakat mempunyai
fungsi sosial ekonomi yang sangat tinggi, dan berhubungan dengan adanya
larangan riba, zakat mengarahkan kita untuk tidak menumpuk harta namun malahan
merangsang investasi untuk alat produksi atau perdagangan.
Dengan demikian, apabila dapat terbentuk sebuah
lembaga yang solid dan dipercaya oleh umat yang mempunyai kesadaran dalam
menunaikan kewajiban zakat, maka potensi zakat sebagai sarana pendistribusian
kesejahteraan akan dapat diwujudkan dengan mempercayakan pengelolaannya kepada
lembaga publik professional yang didirikan atas sinergi pemerintah bersama
dengan, swasta dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.
Keuntungan jika zakat dikelola oleh sebuah lembaga
publik professional dengan memadukan unsur pemerintah, swasta, dan kelompok
masyarakat adalah:
1. Para pembayar zakat akan lebih
disiplin dalam menunaikan kewajibannya dan fakir miskin lebih terjamin haknya.
2. Perasaan fakir miskin terjaga, tidak
merasa seperti peminta-minta.
3. Distribusi dana zakt akan menjadi
lebih tertib, teratur, dan berdaya guna dalam mengembangkan potensi ekonomi
kaum fakir miskin.
4. Peruntukan dana zakat bagi
kepentingan umum dapat disalurkan dengan baik, karena pihak pemerintah lebih
mengetahui sasaran pemanfaatannya.
5. Zakat dapat pula mengisi
perbendaharaan negara (daerah)
Komentar
Posting Komentar