Kekuatan Pemimpin Sang Presiden Jokowi
To lead people, walk beside them... as for
the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the
people honor and praise. The people fear, and the next, the people hate... When
the best leader’s work is done the people say, we did it ourselves!
-Lao-Tze-
Pemimpin itu semacam
manusia pilihan. Bahwa dalam komunitas tertentu, organisasi tertentu, dari yang
sederhana sampai yang kompleks; pemimpin ialah elite puncak yang terpilih, yang
diberi beban amanah alias kepercayaan dan tanggung jawab itulah yang pertama –
tama membuat pemimpin istimewa. Karenanya, pemimpin adalah pahlwan pahlawan
bagi yang dipimpinnya. Ia bekerja tanpa pamrih untuk kepentingan yang
dimpinnya,.
Yang juga istimewa
karena ia punya peluang untuk mengembangkan pengaruh. Ia berpeluang pula
mengembangkan Kharisma dan menunjukan keteladanan. Ia juga sumber harapan, yang
sering diekstrimkan sebagai dewa penyelamat atau orang kebanyakan. Ia minoritas
kreatif yang punya pengaruh dan mampu memmiankan pengaruhnya itu untuk
mengaktivasi segenap sumbernya yang ada, bagi kemajuan dan kepentingan
organisasi atau komunitas yang dipimpinnya.
Tugas
terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, ”bukanlah mengerjakan apa
yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang
benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari norma-norma fundamental.
Bahwa praktik demokrasi harus disesuaikan dengan mandat konstitusi, karena
pengertian ”demokrasi konstitusional” tak lain adalah demokrasi yang tujuan
ideologis dan teleologisnya adalah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
”Sebagai presiden,” seru Abraham Lincoln, ”aku
tak punya mata kecuali mata konstitusi.” Dengan mata konstitusi, presiden bisa
mengetahui apa yang benar. Bahwa di mata Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
menteri bukanlah pegawai tinggi biasa; karena menteri-menterilah yang terutama
menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif). Dan menurut pokok pikiran
keempat dalam Pembukaan UUD 1945 (”Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”), sebagai penyelenggara negara,
menteri-menteri wajib memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Dengan mata konstitusi, presiden dan para
menterinya juga mengemban tugas untuk melindungi dan meliputi bangsa seluruhnya,
yang mampu mengatasi kepentingan golongan dan perseorangan. Betapapun mereka
tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih
anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.
Untuk mengetahui apa yang benar, presiden dan menterinya harus bisa
mentransendensikan diri dari kepentingannya dengan memperkuat empati terhadap
suara kaum minoritas-marjinal serta jeritan rakyat miskin yang terempas dan
terputus.
Pada
akhirnya, untuk mengetahui apa yang benar, presiden dan menteri-menterinya
harus terbuka bagi suara-suara alternatif di seberang pemerintah. Kebenaran
tidak selamanya terungkap dalam kekuasaan yang cenderung korup. Demi kebaikan
pemerintah sendiri, perlu ada kelapangan jiwa untuk menerima kehadiran oposisi.
Mandat
reformasi menghendaki peran parlemen yang kuat, tidak lagi sekadar stempel
pemerintah sebagaimana sebelumnya. Parlemen diharapkan mampu mengembangkan
checks and balances yang dapat mengatasi kemungkinan persekongkolan destruktif
antara legislatif dan eksekutif yang dapat mengarah pada apa yang disebut Bung
Hatta sebagai ”negara kekuasaan”, ”negara penindas”.
Dalam
memenuhi tuntutan tersebut, parlemen diberikan fungsi pengawasan terhadap
pemerintah. Fungsi ini hanya bisa berjalan efektif sejauh ada kekuatan
alternatif di luar partai-partai penyokong pemerintah. Peran kekuatan
alternatif ini sangat vital sebagai corong untuk menyuarakan aspirasi publik
maupun sebagai peniup peluit peringatan agar publik waspada akan adanya hal-hal
yang tak beres dalam kebijakan pemerintah.
Dengan
demikian, betapapun kecilnya suara alternatif ini, akan segera bersambung
dengan suara publik di luar gedung parlemen, yang bisa mencegah pemerintah dari
hal-hal yang tidak terpuji.
Tugas
terberat presiden untuk mengetahui mana yang benar itu makin penting disadari
karena beberapa bulan yang lalu sejak dilantik sampai lima tahun mendatang merupakan periode pembuktian bagi Presiden Jokowi
di tengah keraguan dan ketidakpastian. Reputasi Jokowi sebagai jago pencitraan
tak diragukan, tetapi kualitas kinerjanya masih perlu dibuktikan.
Citra
tanpa bukti kinerja akan melahirkan kekecewaan dan apatisme. Padahal, seperti
kata Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi bukanlah karena tikaman oleh
penyerangan, melainkan suatu kepunahan secara perlahan oleh apati,
ketidakhirauan, dan kekuranggizian.”
Demokrasi
memang merupakan pemerintahan dengan perdebatan, tetapi hanya akan mencapai
efektivitasnya bilamana pemerintah mampu menyurutkan suara rakyat karena
kepuasan mereka terhadap kinerja pemerintah.
Maka
dari itu, seperti nasihat publik Amerika Serikat kepada Jimmy Carter, ”Kurangi
bicara dan kembalilah ke meja kerja!”.
Komentar
Posting Komentar