Islam Dan Idealisme Politik
Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, sekalipun
bukan satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan
manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi
karena dalam praktiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak
secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar
sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia.
Hal seperti itu wajar terjadi mengingat politik dalam kenyataan yang kita
saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai
suatu fenomena a constrained use of social power (penggunaan
kekuasaan sosial secara paksa)[i]. Sementara kekuasaan
itu sendiri ada di mana-mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan
itu dipertemukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan
hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan
kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain.
Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbincangkan.
Itu pula yang menyebabkan para pakar banyak yang menyebut bahwa inti dari
kegiatan politik adalah soal kekuasaan.
Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam
Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita
tulis. Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam
(himâyah al-dîn) dan kedua, mewujudkan
kesejahteraan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah).[ii] Tujuan politik
dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan
kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan
untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang
boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”.
Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para
pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada
nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan.
Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang
diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa
memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Rasulullah
Swt., “Adilnya seorang raja dalam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt.
daripada ibadah tujuh puluh tahun.”[iii]
Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia
dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh
Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak
mau mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri
nikmatnya adalah penguasa yang zhalim dan korup. Bagi mereka Allah menyediakan
siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi
untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat
pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian
sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa
‘Uqûbatuhu).
Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukannya bisa
sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal
politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknya
agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan
bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan
terutama untuk kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang
pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak bekerja sesuai dengan
akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah
Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung,
sama seperti pahalanya.
Pentingnya posisi politik bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah
kerasulan. Ketaatan kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri)
harus diberikan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]:
59). Sekalipun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepanjang tidak bertentangan
dengan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, namun pernyataan secara khusus tentang
posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu
yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula,
memisahkan Islam—sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain
amat mustahil, juga tidak sesuai dengan karakter ajaran Islam yangsyâmil-mutakâmil.
Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga
mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh
fitnah. Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i babIttibâ’
Al-Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa
yang tinggal di hutan dia akan kering (dari informasi; kurang
pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa
yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi
menyebut bahwa yang dimaksud “terkena fitnah” dalam hadis
tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan
sudah tidak lagi memperhatikan agamanya, karena ingin mendapatkan keridhoan
penguasa.”[iv]
Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar,
yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa secara
psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling segalanya
sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersangkutan
kehilangan posisi dan kedudukannya. Tidak sedikit yang mengidap penyakit
kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab
itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang
terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa
akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada
amanah sangat terbuka lebar bagi mereka yang memegang kekuasaan. Tidak salah
pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high
risk high value.
Dari sini dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa Islam tidak
menempatkan politik sebagai sesuatu yang tidak perlu didekatkan dengan agama.
Justru dalam pandangan Islam, politik harus didasarkan pada agama. Agama harus
menjadi landasan pertama dan utama dalam politik. Sekali politik dijauhkan dari
agama, maka pada saat itulah politik akan menjadi lading perebutan kekuasaan
yang sangat barbarian. Satu sama lain akan saling membunuh untuk mendapatkan
kekuasaan. Seandainya pun ada mekanisme-mekanisme lahiriah seperti yang
diciptakan dalam demokrasi modern, tanpa landasan agama mekanisme-mekanisme
apapun tetap akan dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan
tetap akan menjadi lahan untuk saling menghancurkan satu sama lain, bukan untuk
menegakkan niat dan cita-cita politik sesungguhnya.
Hal lain yang menarik dari pandangan Islam tentang politik ini adalah bahwa
penekanan utama masalah politik ada pada penguasa dan kekuasaannya itu.
Sementara mengenai urusan teknis dalam politik seperti sistem pemilihan,
pembuatan struktur kekuasaan dan birokrasi pemerintahan serta
persoalan-persoalan teknis lainnya tidak diatur secara rigid. Para yuris Muslim
diberi keleluasaan untuk berijtihad didasarkan pada prinsip-prinsip umum ajaran
dan hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa wilayah politik praktis memiliki
keluasan ruang kreatif bagi umat Islam sehingga dimungkinkan dapat terus
berinovasi mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.
Sekalipun Islam memberikan keleluasaan dalam berijtihad menentukan hal-hal
teknis dalam berpolitik praktis, namun tentu hal-hal prinsip dalam Islam tidak
boleh berlaku dalam politik Islam. Misalnya bahwa politik Islam harus
dilandaskan pada prinsip tauhid yang meletakkan supremasi
pengaturan kehidupan kepada Allah Swt., termasuk kehidupan politik. Hak
prepogatif tidak diberikan pada “kebebasan manusia” sebagaimana filsafat
politik yang berlaku saat ini, melainkan kepada ketundukan manusia pada Allah
Swt. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap hak-hak individu sebagaimana dikenal
dalam ketentuan hak asasi manusia yang menjadi prinsip umum sistem politik
demokrasi harus diletakkan setelah pengakuan terlebih dahulu atas hak-hak Allah
Swt. atas hambanya. Prinsip ini berimplikasi pada kesadaran untuk mendahulukan
wahyu dalam mengatur persoalan politik daripada keinginan dan akal manusia.
Bila suatu hal diperintahkan atau dilarang secara qoth’ioleh wahyu,
maka itulah yang didahulukan sekalipun bertentangan dengan keinginan dan
kesenangan manusia.
Politik yang bertauhid juga sudah pasti tidak akan bersetuju dengan
sekularisme dalam berpolitik. Sekularisme menghendaki politik steril sama
sekali dari intervensi agama. Politik harus murni sebagai hasil negosiasi
antar-manusia dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang disepakati para
pendukungnya. Kalaupun agama menjadi bagian dari urusan manusia, maka
“agama”-lah yang diurus oleh politik dan bukan sebaliknya. Agama yang dimaksud
bukan agama sebagai ajaran, melainkan agama sebagai kepentingan manusia
sehingga harus diatur oleh politik. Dalam hal ini agama menjadi objek, bukan
subjek dalam politik. Sekularisme dalam politik adalah bentuk lain dari syirik
modern yang dipraktikkan dalam berpolitik. Politik Islam pasti akan menghindari
sejauh-jauhnya perilaku semacam ini.
Sebagaimana tujuan utama yang telah dijelaskan di atas, politik Islam pun
harus menjadi kekuatan yang dapat menegakkan dan melindungi syariat-syariat
Allah Swt. dalam berbagai aspek. Tidak boleh ada usaha-usaha manusia yang
dibiarkan menolak, merusak, dan menghancurkan syari’at Allah Swt. ini. Kekuatan
politik Islam adalah kekuatan politik yang harus menjalankan fungsi amar
ma’rûf dan nahyi munkar. Tentu saja fungsi itu
dasarnya adalah ketentuan ma’rûf dan munkar yang
berlaku dalam ajaran Islam. Walhasil, politik Islam adalah anasir pelindung
utama tegaknya ajaran-ajaran Islam.
Wallâhu A’lamu bi
Al-Shawwâb.
Komentar
Posting Komentar