Rasulullah Sang Demokrat
Rasulullah Sang Demokrat
Lamartine (1790-1869), salah seorang
sejarawan terkemuka pernah mengungkapkan kekagumannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dalam bukunya Histoire De La Turquie,1854,
ia menyatakan bahwa, “Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial,
teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan,
suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang, semua menjadi satu.
Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap
aspek kehidupan tersebut. Hanya dengan kepribadian seperti dialah keagungan
seperti ini dapat diraih.”
Senada
dengan ‘penghormatan’ Lamartine tersebut, pengakuan lain datang dari Michael H.
Hart seorang ilmuwan ternama asal Amerika Serikat, yang juga telah melakukan
riset ilmiah tentang tokoh-tokoh besar yang berpengaruh terhadap sejarah
peradaban dunia. Sehingga dalam bukunya “The 100, a Ranking of the Most
Influental Persons in History”, Michael Hart harus mengakui dan menempatkan
Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam di urutan pertama di
antara deretan manusia yang juga dianggap hebat. Penempatan ini tentu bukan
tanpa alasan, apalagi yang menempatkannya adalah tokoh non muslim.
Ilmuwan
bidang astronomi lulusan University of Princeton itu secara gamblang menyatakan
kekagumannya kepada Nabi Muhammad sebagai satu-satunya orang yang paling sukses
baik dalam tataran sekular maupun agama. Muhammad bergerak tidak hanya dengan
tentara, hukum, kerajaan, rakyat dan dinasti, tapi juga jutaan manusia di dua
per tiga wilayah dunia saat itu. Lebih dari itu, ia telah merubah altar-altar
pemujaan, sesembahan, agama, pikiran, kepercayaan lalu mengajarkan ketunggalan
dan immateriality(keghaiban) Tuhan dan dengan kekuatannya beliau
menyingkirkan ‘tuhan-tuhan’ palsu kemudian mengenalkan Tuhan yang sesungguhnya
dengan kebijakan.
Pengakuan
tokoh-tokoh dunia terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan
tanpa sebab, sebagai pendiri agama besar di dunia, beliau memiliki pengaruh
yang luar biasa sepanjang sejarah peradaban manusia. Beliau telah memulai
peradaban baru dan memberikan suatu pengaruh pribadi yang sangat besar pada
jutaan umat manusia. Nabi Muhammad telah memberikan pengaruh yang sangat
mendalam dan komprehensif kepada umat manusia yaitu dengan contoh teladan dalam
bidang agama dan duniawi. Sehingga selama umat manusia mengikuti sunnahnya,
maka mereka akan mendapatkan kebaikan dalam segala bidang kehidupan.
Tulisan ini juga bukan jawaban dari
pertanyaan sebagian kalangan yang mengatakan: “Apakah Rasulullah Saw
seorang politik ulung? Apakah kota Madinah terhitung negara Islam pertama yang
memiliki kedaulatan dilihat dari keberhasilan manuver-manuver politik
Rasulullah Saw dalam menata pemerintahan?”
Ia hadir bukan untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Yang demikian itu karena kejeniusan Rasulullah Saw dalam memerankan
politik Negara Islam telah terbukti dan diamini kebenarannya oleh para ahli
tahkik dan pemerhati politik dunia Islam. Di samping itu, kepemimpinannya tidak
dapat diukur atau dibandingkan dengan kepemimpinan siapa pun dari mereka yang
ditakdirkan jadi pemimpin, corak dan naskah kepemimpinan tunggal yang hanya
sekali terjadi dan tidak akan pernah terulang. Yang demikian itu karena
kepemimpinannya selalu terkait dengan masalah keimanan. Rasulullah Saw tidak
melakukan manuver-manuver politik, jihad, perjanjian damai, kecuali dengan
dasar iman yang menjadi penggerak utama perbuatannya, iman yang menjadi tema
sentral dari ajaran yang diembannya. Olehnya itu, ia senantiasa dimonitoring
oleh wahyu samawi dalam menjalankan kepemimpinannya.
Abbas Aqqad berkata: “Hakikat yang
dilihat oleh mereka yang jernih menghukumi setiap masalah, muslim atau
non-muslim, sesungguhnya invasi Muhammad invasi keimanan dan kekuatan Muhammad
kekuatan iman. Tidak ada tanda yang paling mendasar dari setiap usahanya
kecuali tanda ini, dan tidak ada alasan lain dari semua itu selain alasan ini.
Dia tidak goyah dalam menanamkan nilai-nilai keimanan yang mengesakan Allah
meski godaan-godaan duniawi datang menghampirinya, fitnah duniawi yang tidak
akan pernah ditemukan di mana pun dan kepada siapa pun kecuali Rasulullah Saw.
Pendekatan seperti ini dapat dijumpai di
tulisan para ulama, di antaranya Imam Qarafi (w 684 H/1285 M). Di sini beliau
melihat bahwa kelompok pertama dan kedua –perilaku Nabi Saw dalam keadaan ia
diposisikan selaku rasul (penyampai wahyu) dan mufti (pemberi fatwa)-,
keduanya bagian dari agama yang disyariatkan. Sementara itu, kelompok ketiga
dan keempat –perilakunya dalam keadaan ia ditempatkan sebagai hakim dan imam (pemimpin
negara), keduanya bukanlah bagian mendasar agama yang absolut
pelaksanaannya, seperti shalat dan puasa. Tetapi, keduanya merupakan ijtihad
yang memperhatikan objek ijtihad yang kondisional, yang tidak lepas dari
pengaruh waktu dan situasi yang senantiasa berubah. Di sini, Rasulullah Saw
sebagai Imam (pemimpin negara) punya peran yang cukup luas, berperan
sebagai hakim dan mufti. Olehnya itu, ia berhak melakukan sesuatu dengan
mengatasnamakan dirinya hakim dan imam, seperti: menata strategi perang dan
menyiapkan bala tentara, membagi hasil perang (ganimah), menyepakati dan
menandatangani perjanjian damai, mengatur keuangan negara, menata
perangkat-perangkat negara dengan memberi jabatan tertentu kepada yang layak
menyandangnya dari sebagian sahabat, seperti: panglima perang, wali (gubernur
di bahasa penulis), hakim, dan buruh kerja.
Menyatukan
kaum Aus dan Khazraj
Yang diketahui bersama, Rasulullah Saw
tidak hijrah ke Madinah sebelum kota ini layak menerima kedatangannya.Yang diketahui
juga, kota Madinah, sebelum Rasulullah Saw hijrah ke sana, kota yang penuh
hiruk-pikuk perselisihan kaum Aus dan Khazraj yang dipicu oleh fitnah-fitnah
busuk orang-orang Yahudi. Api kebencian di antara mereka
senantiasa berkobar dan mustahil dipadamkan meski menghabiskan yang kecil dan
besar, yang hina dan mulia dari perbendaharaan alam. Kebencian ini mewariskan
dendam membara di hati mereka yang memicu terjadinya perang Buat yang kekal
dikenang sejarah. Kenyataan ini telah diukir abadi Q.S. Al-Anfal [8]: 63,
namun, dengan kehendak Allah SWT Rasulullah Saw berhasil memadamkan kobaran api
kebencian itu dengan persaudaraan Islam yang menyejukkan hati mereka.
Perjanjian
Hudaibiyyah
Di perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah Saw
beserta 1.300 muslim keluar menuju kota Mekah dengan maksud ziarah, dan bukan
menginginkan perang. Setelah berita ini didengar orang-orang musyrik, mereka
pun menghalang orang-orang mukmin di Hudaibiyyah sebelum memasuki kota Mekah.
Situasi ini menyebabkan ketegangan urat saraf di antara kedua belah pihak yang
berujung perjanjian damai yang bersyarat. Dengan perjanjian ini kota Mekah dan
Madinah diselimuti sejuknya kedamaian dan perasaan aman, terbentang benang
pertemuan dan perjumpaan antara kedua belah pihak, sehingga orang-orang Islam
dengan leluasa memperdengarkan mereka Al-Quran dan melakukan debat tentang
kebenaran ajaran Islam. Kejadian-kejadian seperti ini tidak pernah dijumpai
sebelum terjadinya perjanjian damai di Hudaibiyyah. Olehnya itu, banyak dari
mereka yang memeluk Islam.
Demokrasi
Awal Islam
.
Kenyataan ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara. Islam saat itu datang dengan sistem yang sama sekali baru. Bukan kerajaan (monarki), bukan pula sistem teokrasi yang di mana kekuasaan di pergilirkan kepada para pemuka agama. Kendati para pemimpin seperti khalifah rasyidun merupakan pengganti Rasul (khalifah ar-rasul), namun mereka bukanlah seperti pendeta-raja atau manusia setengah dewa yang absolut.
Dalam Islam, kekuasaan berada di tangan umat atau rakyat. Ketegasan tersebut terlihat dari keengganan Nabi membuat wasiat menunjuk peggantinya. Pemikir politik Islam asal Palestina, Imaduddin Ahmad, menyatakan kisah itu memperlihatkan bahwa sumber otoritas politik (kekuasaan) ditransfer kepada umat, bukan kepada individu atau sekelompok orang.
Islam menyerahkan kepemimpinan umat dipilih berdasarkan prinsip musyawarah (syura). Di sana ada nilai-nilai yang kompatibel dengan demokrasi seperti persamaan (al-musawah), kebebasan (alhurriyah), dan pertanggung jawaban publik atau akuntabilitas (al-mas’uliyah).
Luasnya keterlibatan rakyat dalam memilih khalifah dan berbagai urusan lainnya, ini membuktikan bahwa syura merupakan proses demokrasi partisipatif pertama di muka bumi. Sekadar informasi, menurut sejumlah pemikir politik, partisipasi merupakan inti demokrasi.
Bandingkan cara pemilihan pemimpin di era awal Islam ini dengan pemilihan pemimpin di Yunani, yang konon merupakan tempat kelahiran demokrasi. Di Yunani, yang mempunyai hak pilih adalah sekelompok orang. Budak, perempuan, sama sekali tidak memiliki hak pilih. Ini adalah demokrasi sekelompok orang, yang bersifat diskriminatif.
Plato, yang menyampaikan gagasan demokrasi, bahkan membagi manusia menjadi tiga: manusia emas, manusia perak, dan manusia perunggu. Sementara, di era awal Islam, tidak ada diskriminasi untuk memilih. Sepanjang mereka golongan umat, maka mereka berhak memilih pemimpin.
Bahkan, perempuan pun sudah mempunyai hak membai’at pemimpin politik, seperti yang terjadi pada Bai’at Aqabah II, yang melibatkan dua orang perempuan dari Yastrib (Madinah). Padahal, hak pilih perempuan di negara kampiun demokrasi seperti Amerika, baru diberikan pada tahun 1920, setelah disahkannya aman demen ke-19 negara itu.
Komunitas awal dan nilai-nilainya, yang di Indonesia kerap disebut dengan istilah masyarakat madani, ini, juga merupakan masyarakat yang sangat toleran dan melibatkan semua pihak. Itu antara lain terlihat dari adanya Piagam Madinah, yang di dalamnya menyebut semua kaum di Madinah, termasuk kaum Ya hudi, sebagai umat yang satu (um matan wahidah). Piagam Madinah (Mitsaq al- Madinah) ini pun diakui oleh para ahli di Barat dan Timur sebagai konstitusi tertulis pertama di muka bumi.
Kenyataan ini seperti arus deras yang terpancar kuat menerpa dan mengangkat keraguan sebagian dari mereka yang enggan menerima kecemerlangan Rasulullah Saw dalam menjalankan politik negara. Islam saat itu datang dengan sistem yang sama sekali baru. Bukan kerajaan (monarki), bukan pula sistem teokrasi yang di mana kekuasaan di pergilirkan kepada para pemuka agama. Kendati para pemimpin seperti khalifah rasyidun merupakan pengganti Rasul (khalifah ar-rasul), namun mereka bukanlah seperti pendeta-raja atau manusia setengah dewa yang absolut.
Dalam Islam, kekuasaan berada di tangan umat atau rakyat. Ketegasan tersebut terlihat dari keengganan Nabi membuat wasiat menunjuk peggantinya. Pemikir politik Islam asal Palestina, Imaduddin Ahmad, menyatakan kisah itu memperlihatkan bahwa sumber otoritas politik (kekuasaan) ditransfer kepada umat, bukan kepada individu atau sekelompok orang.
Islam menyerahkan kepemimpinan umat dipilih berdasarkan prinsip musyawarah (syura). Di sana ada nilai-nilai yang kompatibel dengan demokrasi seperti persamaan (al-musawah), kebebasan (alhurriyah), dan pertanggung jawaban publik atau akuntabilitas (al-mas’uliyah).
Luasnya keterlibatan rakyat dalam memilih khalifah dan berbagai urusan lainnya, ini membuktikan bahwa syura merupakan proses demokrasi partisipatif pertama di muka bumi. Sekadar informasi, menurut sejumlah pemikir politik, partisipasi merupakan inti demokrasi.
Bandingkan cara pemilihan pemimpin di era awal Islam ini dengan pemilihan pemimpin di Yunani, yang konon merupakan tempat kelahiran demokrasi. Di Yunani, yang mempunyai hak pilih adalah sekelompok orang. Budak, perempuan, sama sekali tidak memiliki hak pilih. Ini adalah demokrasi sekelompok orang, yang bersifat diskriminatif.
Plato, yang menyampaikan gagasan demokrasi, bahkan membagi manusia menjadi tiga: manusia emas, manusia perak, dan manusia perunggu. Sementara, di era awal Islam, tidak ada diskriminasi untuk memilih. Sepanjang mereka golongan umat, maka mereka berhak memilih pemimpin.
Bahkan, perempuan pun sudah mempunyai hak membai’at pemimpin politik, seperti yang terjadi pada Bai’at Aqabah II, yang melibatkan dua orang perempuan dari Yastrib (Madinah). Padahal, hak pilih perempuan di negara kampiun demokrasi seperti Amerika, baru diberikan pada tahun 1920, setelah disahkannya aman demen ke-19 negara itu.
Komunitas awal dan nilai-nilainya, yang di Indonesia kerap disebut dengan istilah masyarakat madani, ini, juga merupakan masyarakat yang sangat toleran dan melibatkan semua pihak. Itu antara lain terlihat dari adanya Piagam Madinah, yang di dalamnya menyebut semua kaum di Madinah, termasuk kaum Ya hudi, sebagai umat yang satu (um matan wahidah). Piagam Madinah (Mitsaq al- Madinah) ini pun diakui oleh para ahli di Barat dan Timur sebagai konstitusi tertulis pertama di muka bumi.
*Artikel ini dimuat di Harian Umum Kabar Banten edisi Rabu 14 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar