DEMOKRASI KRITIK
Demokrasi
Kritik
‘’Raja adil raja di sembah, raja lalim raja di sanggah. Tapi, didalam
logika demokrasi, raja adil sekalipun, masih bisa dikritik.’’ (pepatah)
Pada suatu malam Sa’id bin Musayyab masuk ke masjid Nabawi. Saat
itu, ia mendengar bacaan seseorang yang sedang shalat. Meski suara itu
terdengar indah dan merdu, namun cukup mengganggu. Ia pun berkata kepada
pembantunya, ‘’hampirilah dia. Katakan agar dia mempelankan suaranya.’’
Sang pembantu menyanggah, ‘’masjid bukan milik kita peribadi, dan
lelaki lelaki itu juga memeiliki hak atas masjid ini.’’
Said tak sabar lagi. Ia pun berteriak mengingatkan,’’ Hai orang
yang shalat! Jika shalatmu untuk mencari keridhoan Allah, pelankan bacaanmu.
Dan bila mencari pujian manusia, shalat itu tidak akan bermanfaat bagimu.’’
Lelaki itu pun memelankan suaranya. Ia meneruskan shalatnya dengan
khusyu’. Segera setlah shalat, ia mengambil sepatunya dan keluar dari masjid.
Said pun kaget bukan main, ternyata orang ia teriaki itu adalah Umar bin Abdul
Aziz. Ia adalah Gubernur Madinah yang kelak menjadi Khalifah besar Umat islam
sepanjang sejarah.
Sikap umar bin abdul Aziz dalam menyikapi kritik itu menunjukan
kearifan dan kemulyaannya. Tidak banyak orang yang mampu bersikap seperti itu.
Apalagi kalo keritikan itu disampaikan dengan cara sembarangan. Orang masih
sering mempersepsi bahwa kritik hanya akan merendahkan dirinya. Karena itu,
respon spontan yang selalu dilakukan adalah bukan mendengarnya, tetapi memebela
diri untuk menolaknya. Bagaimana dengan kita?
BUDAYA KRITIK
Kontroversi menteri Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla
terus bergulir dan menuai banyak kritikan. Selain Rini Soemarno, sosok
lain yang jadi sorotan adalah Susi Pudjiastuti.
Bos Susi Air itu ramai dibicarakan karena hobi merokok
dan memiliki tato di kaki. Bahkan, Susi nekat merokok di halaman Istana usai
Jokowi mengumumkan nama-nama menteri.
Sikap Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang merokok
di depan umum menjadi pembicaraan masyarakat luas. Aa Gym pun ikut angkat
bicara (mengkritik) soal menteri asal Pangandaran tersebut.
Kita tentu masing ingat beberapa tahun yang lalu, saat kedapatan
bermain golf ketika terjadi pemogokan buruh, (mantan) Menteri Tenaga Kerja Korea
Selatan menuai kritik publik yang pedas. Tanpa menunggu pembuktian kesalahannya
secara legal-formal, ia secara sukarela meletakkan jabatan.
Bermain golf bukan sesuatu yang salah. Apalagi, ia tak menyadari
akan adanya pemogokan buruh. Secara legal-formal tidak ada hal yang ia langgar
yang memaksanya harus mundur. Namun, ia sadar jabatan publik adalah suatu
amanah, kepercayaan publik. Bukan hanya karena pelanggaran hukum seorang
pejabat harus mundur, tetapi juga karena alasan etis ketidakmampuan menjaga kepercayaan
publik. Kegagalan merawat kepercayaan publik ini tidak selalu karena
kesengajaan atau ketidakmampuan, tetapi bisa juga karena kelalaian atau bahkan
kesialan.
Publik tidak selalu identik dengan rakyat seluruhnya. Ruang publik
adalah ranah diskursif, tempat opini kritis diungkapkan. Seorang pejabat boleh
jadi dipilih mayoritas rakyat, tetapi dalam banyak kasus, bisa jatuh karena
opini publik segelintir orang.
Tentu tak semua kritik harus dijawab dengan pengunduran diri.
Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, ”Ketuhanan yang Maha Esa menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, mewajibkan pemerintah dan
penyelenggara negara lain untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pejabat negara harus
memasang radar kepekaan etis secara internal dan eksternal. Secara internal, ia
harus jujur kepada hati nurani. Secara eksternal, harus mampu membaca ayat
publik untuk bisa menakar otentisitas aspirasi massa kritis. Dengan itu, ia
bisa menentukan jenis kelalaian dan tuntutan publik yang pantas direspons
dengan meletakkan jabatan.
Dengan kepekaan etis seperti itu, keputusan mengundurkan diri tak
perlu diratapi sebagai kekalahan atau kehinaan, sebaliknya adalah pertanda
kemuliaan budi pekerti. Pejabat tinggi, dalam bahasa mantan Wakil Presiden
Boediono, adalah suatu ”dedikasi kepada bangsa dan negara”. Pusat perhatiannya
bukan pada kepentingan sendiri, tetapi pada kemaslahatan bagi pengabdian. Tak
sepantasnya jabatan dipertahankan, dengan dalih pengabdian, sekiranya justru
berdampak negatif bagi pemerintahan dalam upayanya memulihkan kepercayaan
publik. Seperti kata Lord Acton, ”There is no worse heresy than that the office
sanctifies the holder of it.”
Jabatan bukan segala-galanya. Jika masih dipercaya mengembannya,
tunaikan secara bertanggung jawab. Jika sudah tak dipercaya, lepaskanlah dengan
penuh tanggung jawab. Meletakkan jabatan secara elegan, tanpa perlu menunggu
prosedur formal atau ongkos sosial-politik yang mahal, adalah bagian dari tata
krama demokrasi.
Demokrasi Indonesia kontemporer bukan tak memiliki contoh. Setelah
pidato pertanggungjawaban Presiden BJ Habibie ditolak MPR, ia mengundurkan diri
dari pencalonan dalam pemilihan presiden. Akbar Tandjung mencoba membujuk
dengan menjanjikan untuk mengonsolidasi suara Golkar. Habibie tetap bergeming,
dengan alasan rakyat sudah tidak memercayai. Padahal, sekiranya bertahan, ia
mungkin saja memenangi pemilihan.
Apalah artinya mempertahankan jabatan jika hal itu menimbulkan
konflik sosial yang berkepanjangan serta menyulitkan pemulihan kepercayaan
publik atas pemerintah. Di sinilah kualitas kenegarawanan seseorang diuji.
Sosok demokrat seseorang dibuktikan.
Tes terakhir seorang negarawan demokrat (di Indonesia) bukan dalam
kesediaan untuk memangku jabatan, melainkan kesediaan untuk meletakkan jabatan.
Di sini, problem utama kenegaraan terletak pada surplus pemburu jabatan.
Jabatan dicoba diraih dan dipertahankan dengan berbagai cara, yang merusak
tatanan kenegaraan dan demokrasi. Hanya sedikit perkecualian orang yang
memiliki jiwa asketis, yang tidak tergoda kekuasaan atau bisa mengendalikan
diri secara etis dalam meraih kekuasaan serta mau melepas jabatan secara
sukarela.
Intelektual dalam kekuasaan dituntut memberikan keteladanan di
tengah kegersangan etis jagat politik Indonesia. Dalam perspektif Weberian,
kaum intelektual diidealkan mampu mempertahankan jarak dan perspektif kritisnya
terhadap kekuasaan. Namun, keterlibatan intelektual dalam dunia politik dan
pemerintahan bisa ditoleransi sejauh mampu mempertahankan otonomi individunya
untuk tak terperosok dalam keguyuban malapraktik politik dan menjaga agar dunia
politik tak menjadi kuburan bagi nilai etis dan kebebasan individu.
Penguatan etika politik adalah pertaruhan masa depan demokrasi di
Indonesia. Masalah korupsi dan kelemahan pertanggungjawaban publik di negeri
ini bukanlah karena defisit hukum, tetapi terutama karena erosi etika politik.
Padahal, etika politik yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan
sosial-politik, kesejahteraan bersama, dan keadilan sosial. Seperti kata Paul
Ricoeur, etika politik adalah kekuatan reflektif untuk membongkar argumen yang
melegitimasi kebijakan publik dengan menempatkan diri dalam posisi dan dimensi
moral orang lain.
Dalam panggung politik, klaim etis sering dipakai untuk memojokkan
pengkritik tanpa kemampuan refleksi diri untuk menginsafi kelalaian etis
pejabat negara. Loyalitas partai koalisi dituntut dengan klaim etis, tetapi
melalaikan prinsip etis yang fundamental menurut demokrasi konstitusional,
loyalitas tak dibenarkan untuk tujuan keburukan dan pelanggaran hukum.
Gotong-royong hanya dibenarkan dalam kebajikan dan takwa, tidak dalam kesesatan
dan keburukan!
Memaknai Kritikan
Kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian
sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau
membantu memperbaiki pekerjaan. [1].
Secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani κριτικός, kritikós - "yang
membedakan", kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna κριτής, krités,
artinya "orang yang memberikan pendapat beralasan" atau
"analisis", "pertimbangan nilai", "interpretasi",
atau "pengamatan". Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan
seorang pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan. (Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Memang tidak mudah menyingkapi kritik. Apalagi kalo memandang
dirinya lebih terhormat dari pengkritiknya. Bukannya mendengar apa pesan kritik
itu, tetapi justru menyerang balik dan mencari-cari alasan untuk memebenarkan
sikapnya. Bukan kebenaran lagi yang dijadikan acuan tapi kepuasan. Yang keluar
dari lisan bukannya kebenaran tapi pembenaran.
Tapi, cobalah tenang sejenak. Apakah sikap itu benar-benar menjadi
pilihan kita? Jernihkan pikiran. Biasanya setelah reda, baru kita sadar.
Mengapa kita bersikap reaktif seperti itu? Bukankah tenang dan bersabar
sebentar lebih baik daripada marah tidak karuan?
Mungkin cara si pengkritik tidak sopan, tetapi bukankah reaksi
kita itu lebih tidak sopan? Kritikan dia masih mengandung nasihat
kebenaran. Sementara yang kita katakan hanyalah kesombongan. Kenapa kita lepas
kendali seperti itu? Sikap sikap reaktif seperti itu biasanya hanya berujung
pada penyesalan. Itulah teguran hati nurani untuk diri ini agar kita lebih arif
lagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) mengingtakan kepada kita.
‘’ Jangan marah. Jangan marah. Jangan marah.’’ (Riwayat Bukhari).
Marah dan sikap reaktif yang tidak karuan pertanda jiwa dikuasai
egoisme alias ananiah. Biasanya saat seperti itu yang keluar berulang-ulang
adalah ‘’saya-saya atau gue-gue’’. Semua masalah diliah dari kepentingan dirinya.
Cara berpikirnya sempit dan cenderung meremehkan orang lain. Tak ada sikap arif
sama sekali. Ia tidak mampu melihat kebenaran karena telah tertutupi oleh
kesombongannya.
‘’Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan sesama.’’
(Riwayat Muslim).
Berpikir Positif
Kebanyakan orang memang lebih suka dipuji daripada dikritik.
Pujian dan sanjungan terasa manis. Sedang kritik terasa pahit. Ia tidak sadar
mendengar. Bahkan sebelum selesai yang mengkritik berbicara, ia sudah teriak
duluan. Ia sibuk membela diris ambil menunjukan kebodohan dan kekeliruan orang
yang mengkritik itu. ‘’Ilmu lu itu seberapa sih? Tidak seberapa dengan ilmu
gua.’’
Padahal, yang pahit juga tak selamanya buruk bagi kita. Pahitnya
jamu justru menyehatkan. Kalau kritik itu kita sikapi dengan arif, maka akan
menyehatkan jiwa. kita akan matang dan dewasa. Tapi kalau kritik selalu
dipandang sebagai ancaman yang harus ditolak dan hanya mau mendengar pujian,
kita bis lupa diri. Kritikan yang terasa pahit tapi menyehatkan itu tentu lebih
baik daripada pujian yang melenakan.
Berpikirlah positif, bahwa kritik sebenarnya adalah nasihat yang
sangat kita butuhkan. Kita mendapat umpan balik dari orang lain untuk
memperbaiki diri. Beberapa perusaan bahkan sengaja mengeluarkan anggaran untuk
mendapat kritik. Sebab, dengan cara seperti itu mereka akan bisa segera
memeperbaiki produknya. Jadi, semestinya kita berterima kasih kepada mereka
karena telah mengoreksi kesalalan kita, sehingga kita terhindar dari k erugian.
‘’Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran.’’
(Al Ashr : 1-3).
Andai kritik itu memang tidak benar, kita juga tak perlu harus
kebakaran jenggot. Tetaplah berpikir positif bahwa itu adalah ujian kesabaran.
kesempatan bagi kita untuk mengevaluasi bahwa tujuan kita memang bukan untuk
mencari pujian, tetapi semata mencari ridha Allah SWT. Ada orang yang tidak
setuju dengan kita, itu adalah wajar. Tidak semua orang harus sesuai dengan
keinginan kita.
Muhasabah / Berdzikir
Presepsi bahwa kritik akan merendahkan dirinya berasal dari sikap
kesombongan. Padahal, tak ada hinanya seorang dikritik. Seperti kisah Umar dia
atas, sebelum dikritik dia adalah sososk Umar. Setelah dikritik dia tetap Umar.
Hingga dirinya juga tak berkurang sedikitpun. Sikap menerima kritik itu sama
sekali tak memebuatnya terhina. Justru karena dia mengutamakan kebenaran, itu
memebuatnya mulia. Kelihatan keagungan jiwanya yang tudak terjebak ego maupun
kesombongan itu.
Sebetulnya, Umar bisa saja memebantah kritik dengan mencari
alasan, karena dia memang juga tergolong ulama besar. Namun, Umar bukansemata
pintar tetapi juga arif. Inilah kunci kesuksesannya.
Saat menghadapi kritik, jaga hati agar tidak terjebak ego dan hawa
nafsu. Bagaimana caranya? Yakni perbanyaklah Muhasabah dan ber-Zikir. Sadarilah
bahwa diri kita semata hamba Allah SWT. Mereka yang mengkritik juga hambanya.
Semua yang terjadi adalah atas izin Allah SWT. Ini semua ujian darinya. Rasulullah
SAW yang berakhlak mulia saja, pernah dituduh gila. Apalagi kita yang memang
banyak kekurangan. Bahkan saat awal berdakhwah di Thaif, beliau dilempari batu
dan potongan besi. Menghadapi sikap orang yang berpaling itu, beliau kembalikan
kepada Allah SWT. Beliau tidak mengutuk, malah berdoa untuk mereka.
Dengan berzikir kepada-Nya, hati pun akan tanang. Ada energi
positif yang masuk kedalam jiwa. Saat berzikir, kita melakukan hubungan dengan
Allah SWT. Memohon perlindungan-Nya dari energi negatif hawa nafsu maupun
setan. Dan dengan berzikir Allah SWT pun akan berkenan menurunkan rahmat-Nya.
‘’Berzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (melimpahkan rahmat dan
ampunan) kepadamu.’’ (Al baqarah : 152)
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa kepemimpinan itu tidak saja
terkait dengan kerja keras, tetapi juga bagimana berurusan dengan orang banyak.
Karenanya , kepemimpinan itu bisa diartikan seni mengurus orang banyak.
Ada pepatah, Raja adil raja di sembah, raja lalim raja di sanggah.
Tapi, didalam logika demokrasi, raja adil sekalipun, masih bisa dikritik.
*Tulisan ini dimuat di Media Harian Umum Kabar Banten Edisi Rabu 5 November 2014
Komentar
Posting Komentar