Makna Dan Hakikat Hidayah Allah
Berbicara
tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang
paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama
keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat
By Abdullah
Taslim, Lc., MA. 1 December 2013
Berbicara tentang hidayah berarti
membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam
kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan
hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh
Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih
keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu
mencelakakannya.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ
فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan
akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang
yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf:178).
Dalam ayat lain, Dia Ta’ala
juga berfirman:
{مَن يَهْدِ اللَّهُ
فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
“Barangsiapa yang diberi petunjuk
oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan
akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat
seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).
Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Ta’ala
Allah Ta’ala memerintahkan
kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah
ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling
agung dalam Al-Qur-an1, karena sangat besar dan mendesaknya
kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ}
“Berikanlah kepada kami hidayah
ke jalan yang lurus”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap
kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari
siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan
hidayah (dari Allah Ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan
hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti
orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang
Nashrani)”2.
Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim
memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang hamba
sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua
(perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut
berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas darinya:
- Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
- Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.
- Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.
- Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
- Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
- Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
- Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
- Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.
- Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah Y berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”3.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir
ketika menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana
mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam
shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini
termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian?
Imam Ibnu Katsir berkata:
“Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di
siang dan malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal
itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan
sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan dan
meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya,
menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh
seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi
dirinya sendiri kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah Ta’alamembimbingnya
untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya
pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang yang beruntung
adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’alauntuk (selalu) memohon
kepadanya, karena Allah Ta’ala telah menjamin pengabulan bagi orang yang
berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan
bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di
waktu-waktu malam dan di tepi-tepi siang”4.
Makna, hakikat dan macam-macam hidayah
Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad
(bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)5.
Adapun secara syar’i, maka Imam
Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala
menjadi empat macam:
1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua
makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{قَال َرَبُّنَا
الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى}
“Musa berkata: “Rabb kami (Allah
Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk
kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).
Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah
Ta’ala berikan kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan
kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti
melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk
kelangsungan hidup di dunia.
2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang
jalan yang baik dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan
kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna,
karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan
(hidayah Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:
{وَأَمَّا ثَمُودُ
فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}
“Adapun kaum Tsamud, mereka telah
Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada
petunjuk” (QS Fushshilat: 17).
Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan
kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.
Hidayah inilah yang mampu dilakukan
oleh manusia, yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta
menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan jalan yang salah,
akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah Ta’ala,
meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati
manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.
Allah Ta’ala berfirman
tentang Rasul-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk
(penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti
jalan yang benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta
memilihnya. inilah hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang
meraihnya akan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan
dalam firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ
يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
“Sesungguhnya Allah menyesatkan
siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang
dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).
Dan firman-Nya:
{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى
هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}
“Jika engkau (wahai Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk,
maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya dan mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).
Juga firman-Nya:
{إِنَّكَ لا تَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ}
“Sesungguhnya engkau (wahai
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) tidak dapat memberikan hidayah kepada
orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau
menerima petunjuk” (QS al-Qashash: 56).
Maka dalam ayat ini Allah menafikan
hidayah ini (taufik) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan
menetapkan bagi beliau Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah
(bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي
إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
“Sesungguhnya engkau (wahai
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk
(penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka
ketika penghuninya digiring kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman
tentang ucapan penghuni Surga:
{وَقَالُوا الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا
اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}
“Segala puji bagi Allah yang
telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah
(ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf:
43).
Adapun tentang penghuni Neraka,
Allah Ta’ala berfirman:
{احْشُرُوا الَّذِينَ
ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ. مِنْ
دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}
“Kumpulkanlah orang-orang yang
zhalim beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka
sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS
ash-Shaaffaat: 22-23)”6.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab
al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
- Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
- Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”7.
Komentar
Posting Komentar