Sejarah Syiah Dua Belas Imam di Iran dan Perkembangan di Indonesia
Potensi konflik pun tidaklah kecil dari berkembangnya ideologi Syiah yang
radikal ini, terutama bila bercermin pada krisis Timur Tengah saat ini, seperti
Suriah, Iraq, Bahrain dan terakhir Yaman
AKHIR-akhir ini, umat Islam di tanah air disibukkan dengan
fenomena semarak kegiatan-kegiatan Syiah Imamiyah di tanah air.
Baru-baru ini kelompok Syiah
Imamiyah ini mengadakan kegiatan peringatan syahidnya Imam Husain bin Ali di
Karbala yang berlokasi di ICC Pejaten Jakarta Selatan. Islamic
cultural center (atau ICC) sendiri merupakan lembaga kebudayaan Iran yang
didirkan sejak tahun 2003 untuk menyebarkan budaya dan aliran Syiah Imamiyah di
Indonesia.
Pengalaman penulis sendiri
ketika berkunjung ke lokasi ini sekitar tahun 2006, lembaga ini memiliki
lingkungan yang cukup luas serta asri, nyaman, dan tenang sehingga sangat potensial
sebagai pusat penyebaran agama Syiah Imamiyah.
Dalam tulisan ini, penulis
tidak berusaha mengulang kembali poin-poin tentang Syiah Imamiyah yang sudah
seringkali dijelaskan oleh para muballigh dan ustadz di berbagai kesempatan
baik lisan maupun tulisan.
Tulisan ini justru hendak
menyoroti upaya sebagian kecil pihak yang selalu bersandar pada slogan
toleransi untuk menyambut suka cita penyebaran aliran ini.
Dalam tulisan ini, penulis
merujuk pada sejarah Syiah Imamiyah sendiri di Iran dan perkembangan
kontemporer ideologi Imamiyah di beberapa negeri mayoritas Muslim di Timur
Tengah.
Sejarah negeri Persia
(sekarang Iran) setelah penaklukan Islam dan sebelum kedatangan Syiah Imam Dua
Belas sangatlah mengesankan. Tercatat banyak ulama-ulama besar umat Islam –
rahmatullah ‘alaihim – yang terlahir dari rahim negeri Persia ini, diantaranya
adalah Imam al-Bukhari (w870M), Imam Abu Dawood (w889m), Imam Al-Juwayni
(w1085m), Imam Al-Bayhaqi (w1066M), Imam Al-Ghazali (w1111M), Imam Abu Abdullah
al-Hakim Nishapuri (w1012M), Imam alSarakhsi (w1096M), Imam al Taftazani
(w1390M), dan lainnya.Mereka adalah ulama mu’tabar yang menjadi rujukan dalam
ilmu-ilmu keislaman dan telah menghasilkan kitab-kitab yang abadi hingga yaumil
qiyamah.
Sebelum kedatangan Dinasti
Safawi, mayoritas umat Islam Persia menganut Madzhab Syafi’i dan sebagian
Hanafi, namun setelah kedatangan Pasukan Safawi dibawah pimpinan Syah(Raja)
Ismail ke-I yang menyerbu dan berhasil menaklukkan Tibriz, Azerbaijan, dan
Armenia dari tahun 1500-1502M.
Pasukan Safawi kemudian secara
perlahan menyebar ke seluruh tanah Persia dan menaklukkan Khurasan dan Herat
pada tahun 1510. Keturunan Safawi merupakan orang-orang Syiah berdarah Persia.
Dari dua latar belakang ini,
Syah Ismail ke-I jauh lebih dipengaruhi oleh kesyiahannya dan kebenciannya
kepada Ahlus Sunnah yang berhasil menghancurkan Dinasti Fatimiyah di Mesir pada
tahun 1171M.
Oleh karena itulah, ketika
Syah ini berhasil menaklukkan tanah Persia, hal pertama yang dilakukannya
adalah mencabut akar Sunni dari penduduk dan memaksakan seluruh penduduk bumi
Persia untuk menganut Syiah Imamiyah atau mati.
Selain sebagai upaya menggusur
pengaruh musuh abadi mereka Dinasti Usmaniyah Sunni dan mencegah timbulnya
pemberontakan dari dalam negeri Persia, pemaksaan Syiah ini juga berfungsi
sebagai pembentuk identitas unik bagi Dinasti Safawi dan agar dapat membangun
loyalitas penuh dari penduduk tanah Persia.
Kasus Sampang dan Yaman
Cara-cara radikal Syiah
Imamiyah dalam menyebarkan ideologi menyimpangnya ini sudah bukan barang baru
lagi. Tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus yang melibatkan Syiah Imamiyah
belakangan ini cukup unik karena menunjukkan kelompok yang notabene minoritas
berupaya memaksakan pandangannya kepada mayoritas Sunni.
Kasus minoritas Hutsi di
Yaman, minoritas syiah di Sampang, Madura dan minoritas Syiah yang menyerang
Majelis Adz-Zikra Pimpinan Ustad Arifin Ilham merupakan beberapa contoh. Syiah
yang minoritas namun berani melakukan cara kekerasan.
Melihat radikalisme Syiah ini,
alangkah mengherankan terdapat sebagian kalangan yang mewacanakan toleransi
terhadap kelompok Syiah ini.
Kelompok Liberalis Indonesia,
misalnya, tidak segan-segan membuka keran kerjasama kebudayaan dengan Iran
seakan-akan amnesia dengan radikalisme dan militanisme negara pusat Syiah ini
di beberapa negara di Timur tengah.
Langkah liberalis Indonesia
yang bekerja sama dengan negeri mullah yang ademokratis ini jelas bertolak
belakang dengan misi liberalisme yang diusung AS dan Uni Eropa yang justru
mengembargo salah satu negeri ‘poros setan’ ini.
Tidaklah berlebihan apabila
banyak yang mempertanyakan konsistensi kelompok liberal Indonesia yang di satu
sisi mengkritisi, mencemooh dan memfitnah habis-habisan kelompok Islam Sunni
sebagai fundamentalis dan radikal. Namun di lain sisi, bekerjasama dengan Iran
dan kelompok syiah di tanah air yang justru dikenal sangat radikal dalam
penyebaran ideologinya.
Salah seorang tokoh umat Islam
juga sempat mempertanyakan kecenderungan bekerja sama dengan negeri Syiah
Imamiyah sementara menurutnya radikalisme Syiah bahkan melebihi kelompok takfiri.
Hal ini karena Syiah tidak
hanya mengkafirkan sesama muslim namun lebih dari itu mengkafirkan juga para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam seperti Abu Bakar, Umar, Aisha,
Hafsah, ra.
Upaya liberalis di tanah air
ini yang biasanya selalu menolak mentah-mentah konservatisme umat Islam di
tanah air namun berpeluk erat dengan radikalisme ideologi Syiah memang patut
menjadi pertanyaan besar bagi umat.
Potensi konflik pun tidaklah
kecil dari berkembangnya ideologi Syiah yang radikal ini, terutama bila
bercermin pada krisis Timur Tengah saat ini, seperti Suriah, Iraq, Bahrain dan
terakhir Yaman.
Di Indonesia sendiri kekerasan
Syiah sudah tampak dalam kasus Sampang, Madura dan penyerangan terhadap Majelis
Azzikra.
Yang tidak kalah disayangkan
pula adalah sikap banyak umat Islam yang karena keawaman dan ketidaktahuan
tentang Syiah Imamiyah ini maka mempersamakannya dengan Syiah Zaidiyah yang
lebih dekat dengan Sunni.
Kelompok yang awam ini
menyerukan toleransi terhadap kelompok Syiah Imam Dua Belas dari Iran ini,
padahal kelompok terakhir ini dikenal radikal dan anti-sahabat Nabi terkemuka
yang dihormati dalam ajaran Islam Sunni.
Kemiripan kaksus Persia di
masa lalu dan Indonesia saat ini harus menjadi ibrah (pelajaran)
berharga bagi umat. Sebab keterlambatan mengantisipasi sebaran Syiah Imamiyah
sangat merugikan bagi Muslim Sunni Persia masa lalu dimana mereka pada akhirnya
justru dipaksa berpindah agama menjadi Syiah atau mati ditangan pasukan
Safawiyah.
Pola ini tampaknya tidak akan
berubah jika kita melihat aksi Syiah al Hautsi (Syiah al Houthi) di Yaman.
Oleh karenanya, umat Islam
Sunni hendaklah selalu berhati-hati menyingkapi fenomena Syiah Imam Dua Belas
ini agar kegemilangan tanah air dalam melahirkan ulama-ulama Nusantara tidaklah
sampai berganti dengan kelahiran mullah-mullah yang
anti-Sahabat Nabi.
Konservatisme politik umat
juga bukanlah sesuatu yang memalukan sehingga harus ditanggalkan, mengingat
realita bahwa negeri paling liberal pun memiliki jumlah kaum konservatis yang
tidak kecil.
Pertanyaan besar justru
berpulang kepada kaum liberal yang seakan ‘menjilat ludah’ sendiri dengan
bergandengan dengan kelompok radikal Syiah. Wallahu a’lam.*/Doha,
16 Mei, 2015
Ady C. Effendy, MA
Penulis alumni Magister
Pemikiran Islam Universitas Hamad bin Khalifa, sedang melanjutkan program S3 di
Qatar
Komentar
Posting Komentar