Hijrah
“Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan jiwa dan harta
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang
yang memperoleh kemenangan”. (QS. al-Taubat: 20)
Hijrah Rasul
dan Transformasi Sejarah Umat Islam
Adalah suatu
hal yang tak dapat dipungkiri bahwa peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Saw dari
Makkah ke Madinah, setelah selama 13 tahun menjalankan misi dakwahnya di
Makkah, merupakan tonggak sejarah yang sangat menentukan dalam perjalanan
sejarah peradaban Kaum Muslim dan umat manusia pada umumnya di masa kemudian.
Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para pengikutnya bukan sekadar menunjukkan
adanya perpindahan secara geografis, tetapi lebih dari itu memiliki tujuan
strategis, dalam rangka meningkatkan spektrum dakwah Islam secara lebih luas.
Dakwah Fase
Mekah
Nabi
Muhammad Saw pada mulanya hanya berdakwah kepada keluarga dekatnya, untuk
menyampaikan ajaran pokok Islam tentang tauhid. Baru tiga tahun kemudian,
setelah pengikutnya bertambah banyak, Nabi mulai melakukan dakwah secara
terbuka kepada lingkungan yang lebih luas. Pada masa itu masyarakat Arab secara
umum masih sangat terbelakang dalam hampir semua segi kehidupan. Mereka
tenggelam dalam pemujaan berhala dan terpecah belah dalam semangat kesukuan.
Dengan misi
suci yang dibawanya, Nabi Saw berusaha menyadarkan dan membimbing masyarakatnya
untuk mengikuti nilai-nilai kebenaran yang berasal dari Allah SWT. Kepada
mereka diajarkan untuk beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan
berhala. Demikan pula dalam kehidupan keluarga dan sosial ditanamkan
nilai-nilai yang jelas mengenai penghargaan terhadap kaum wanita dan perlakuan
yang adil atas setiap orang.
Setelah
melihat pengaruh seruan Rasulullah begitu kuat, dalam sebuah pertemuan rahasia,
para pemuka Arab Quraisy bersepakat untuk membunuh Nabi Muhammad dengan
mengumpulkan wakil dari masing-masing suku. Namun, berkat perlindungan Allah
SWT, rencana busuk kaum kafir Quraisy itu akhirnya gagal dan Nabi Saw berhasil
lolos keluar dari rumahnya untuk kemudian pergi menuju Madinah. Peristiwa
itulah, yang terjadi pada tahun 622 M, dikenal sebagai “hijrah” yang menandai
babak baru perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan misi Islam yang berbasis
di kota Madinah.
Dakwah Fase
Madinah
Di Madinah
secara perlahan Nabi mulai membangun kekuatan politik melalui
kesepakatan-kesepakatan yang dibuatnya dengan warga Madinah, yang pada intinya
untuk memberi kelonggaran baginya dalam merealisasikan ajaran Alquran. Untuk
itu, secara internal, Nabi berupaya menguatkan ikatan kaum Muslim dengan cara
mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, dan juga menjalin perjanjian
dengan orang-orang Yahudi dari Bani Quraidha, Nadir dan Qainuqa. Untuk mengatur
hubungan sosial dan politik di antara suku-suku warga Madinah itu, Nabi
mengeluarkan sebuah piagam yang disebut sebagai Piagam Madinah.
Dalam bidang
keuangan, Nabi mendirikan lembaga baru yang disebut Baitul Mal. Melalui lembaga
ini zakat serta kewajiban-kewajiban finansial kaum Muslim dan masyarakat pada
umumnya dikumpulkan, untuk kemudian digunakan membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara.
Untuk
menghadapi serangan-serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar, Nabi
membentuk suatu barisan pertahanan. Musuh pertama yang dihadapi oleh Nabi
datang dari Yahudi yang tinggal di Madinah. Mereka memandang kehadiran Nabi
sebagai ancaman terhadap kepentingan mereka. Musuh lain, yang jauh lebih
berbahaya adalah kaum kafir Quraisy.
Peperangan
yang kemudian dihadapi oleh Nabi dan kaum Muslim antara lain perang Badr, Uhud,
Ahzab, Khaibar, dan Hunain. Nabi juga menghadapi pemberontakan orang-orang
Yahudi. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun kedua Hijrah, sepulangnya dari
perang Badr. Penyebabnya, suku Banu Qainuqa membunuh seorang pria Muslim.
Tindakan ini merupakan pelanggaran atas perjanjian yang telah mereka buat
dengan Nabi.
Setelah
menghadapi beberapa peperangan, pemberontakan, dan pelbagai peristiwa lainnya,
akhirnya Nabi berhasil mencapai puncak kemenangannya. Pada tahun kedelapan
Hijrah, ia berhasil masuk kembali ke Mekah. Nabi berhasil menaklukkan Mekah dan
penduduknya tanpa menumpahkan darah. Peristiwa ini, kemudian disebut sebagai
Fathul Makkah.
Kalender
Hijriyah
Penanggalan
Ummat Islam disebut Kalender Hijrah atau Hijriyah. Nama ini didasarkan
karena awal perhitungannya sejak Rasulullah Muhammad SAW dan para shahabatnya
berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Riwayat
Kalender Hijriyah
Pada awalnya
yang mengusulkan perlu Kalender Muslimin adalah Ya'la bin Umayyah, gubernur
Yaman masa Khalifah Abu Bakar al-Shidiq, tetapi belum dapat diwujudkan.
Gubernur Basrah (Irak), Abu Musa al-Asy'ari mengirim surat kepada Khalifah Umar
bin Khaththab, “Kami telah menerima banyak surat dari Amir al-Mu'minin, dan
kami tidak tahu mana yang harus dilakukan. Kami telah membaca satu perbuatan
yang bertanggal Sya'ban, tetapi kami tidak tahu Sya'ban mana yang dimaksudkan:
Sya'ban sekarang atau Sya'ban yang akan datang tahun depan?”
Khalifah
Umar memandang perlu segera menetapkan kalender baku kaum muslimin, baik untuk
pemerintahan maupun masyarakat. Khalifah bermusyawarah dengan para shahabat,
ulama dan zu'ama', didapat empat butir saran penentuan awal kalender muslim. 1)
dihitung dari hari lahir Rasulullah SAW; 2) dihitung dari hari wafat Rasulullah
SAW; 3) dihitung dari hari pertama Rasulullah SAW menerima wahyu Allah di gua
Hira'; dan 4) dihitung dari hari, tanggal dan bulan Rasulullah SAW melakukan
hijrah dari Makkah ke Madinah. Saran keempat ini atas usul Ali bin Abi Thalib.
Musyawarah menyepakati kalender Islam dimulai dari hijrah Rasulullah SAW dari
Makkah ke Madinah pada tanggal 12 Rabi' al-Awwal. Sebagai awal Tahun hijrah
dimulai dengan nama bulan Muharram, atas usul Utsman bin Affan.
Nama Bulan
dan Hari
Kalender
hijrah menggunakan nama bulan yang telah digunakan oleh orang-orang Arab.
Kendati penanggalannya menggunakan sistem qamariyah, tetapi penamaan 12 bulan
terpengaruh nama musim sistem kalender syamsiyah. Nama dua belas bulan
itu ialah: Muharram (bulan suci), Shafar (bulan yang hampa), Rabi' al-Awwal
(musim semi pertama), Rabi' al-Akhir/Tsani (musim semi kedua), Jumad al-Ula
(musim dingin pertama), Jumad al-Tsaniyah (musim dingin kedua), Rajab (bulan
yang dipuja), Sya'ban (bulan pembagian), Ramadhan (bulan musim panas), Syawwal
(bulan perburuan), Dzul-Qa'dah (bulan istirahat) dan Dzul-Hijjah (bulan haji).
Dalam
al-Qur'an surat al- Taubat: 36, disebutkan bahwa dari 12 bulan, Allah
menetapkan ada empat bulan haram (haram untuk berperang). Rasulullah
menjelaskan, yang haram adalah bulan Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram dan
Rajab.
Mengenai
nama-nama hari dalam 7 hari, kalender hijrah menggunakan nomor bilangan Arab.
Hari pertama disebut Ahad, kedua Itsnain, ketiga Tsulatsa, keempat
Arbi'ah/arba'ah, kelima Khamis, keenam Jum'at. Nama khusus dari Allah dalam
al-Qur'an, surat Jum'at: 9, sebagai kewajiban muslim ibadah mendengar khutbah
dan shalat berjama'ah di masjid, ketujuh al-Sabt. Dalam kalender bahasa
Indonesia menjadi: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at dan Sabtu.
Hari Ahad
tidak tepat bila diganti Minggu, karena secara akidah bertentangan dengan
prinsip Tauhidullah (meng-Esakan Allah). Minggu dari bahasa Portugis Dominggo,
artinya hari Tuhan, yang bermakna Tuhan istirahat pada hari ketujuh dan ada
yang mengartikan hari kebangkitan Yesus. Wallahu’alam bishawab.
Komentar
Posting Komentar