Syiasah Politik Islam
Islam memiliki cara pandang sendiri terhadap politik. Politik Islam tidak sama dengan Politik selain Islam. Maka para aktivis Islam yang memutuskan terjun ke dunia politik, jangan menjadikan Islam sebagai kendaraan politik, namun jadikanlah politik kendaraan meninggikan Islam. Namun itu tidak akan terjadi, jika para aktivis Islam tidak pernah menelaah adab dan etika politik Islam, dan belum pernah mengkaji karya-karya para ulama terdahulu tentang Politik Islam.
Politik dalam Islam menggunakan kata as-siyaasah (السياسة), sebagai kata asli dalam bahasa Arab. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa secara harfiah kata ini berarti pengaturan, pengasuhan, pendidikan karakter dan perbaikan. Adapun istilah as-siyasah asy-syar’iyyah (politik syar’i) adalah istilah yang digunakan dalam banyak pengertian, mengandung banyak makna. Maka kata ‘as-siyasah‘ telah digunakan untuk lebih dari satu makna.[1] Maka berpolitik islami, selain bergerak dengan seluruh makna kata di atas, juga bergerak dengan cara pandang Islam (the worldview of Islam).
Pengertian politik yang disebutkan di atas diikuti dengan kesamaan pengertian yang sejalan dalam definisi terkini di dunia Barat. Politik didefinisikan oleh kamus Littre (1870) sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara. Kamus Robert (1962) mendefinisikan politik sebagai seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia. [2]
Disebut politik Islam karena Islam menjelaskan tata aturan kehidupan dalam segala sisi kehidupan, termasuk politik. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Surat An-Nahl/16 ayat 89,
(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
![pemimpin1](https://wido.files.wordpress.com/2015/02/pemimpin1.jpg?w=300)
Yusuf al-Qaradhawy kemudian mengutip pendapat banyak tokoh orientalis dalam kaitannya dengan politik Islam untuk menegaskan bahwa Islam memiliki cara pandang terhadap politik secara tersendiri yang sangat membedakannya dengan politik dalam cara pandang selain Islam.[3] Pendapat yang dikutip adalah,
Politik merupakan area yang harus diisi oleh Islam karena wilayah ini berdampak kepada kemaslahatan manusia secara umum dengan tetap menyadari bahwa politik hanyalah bagian yang sangat kecil dari seluruh area yang harus diisi oleh Islam karena Islam hadir sebagai jalan keselamatan untuk seluruh sendi kehidupan manusia. Dalam pengertian ini, maka politik tidak akan didewakan. Pendewaan politik (at-taalluh as-siyasi) sama dengan pendewaan agama (at-taalluh ad-dini), karena pendewaan politik berarti menguasai eksistensi orang, menafikan kepribadian mereka, menyembunyikan jiwa mereka, menetapkan aturan untuk mereka, menguasai potensi mereka, menetapkan untuk mereka undang-undang yang sesuai dengan hawa nafsu, memaksa mereka untuk mengkajinya, menghalalkan dan mengharamkan kepada mereka sesuatu yang diinginkannya. Pendewaan politik inilah yang oleh Islam dianggap sebagai rububiyyah dalam firman-Nya Surat At-Taubah/9 ayat 31,
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.[4]
Syaikhul Islam, Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Abdul Halim ibn Abdussalam ibn Taimiyyah al-Harrani memunculkan terminologi as-siyasah al-ilahiyyah dalam pembahasannya tentang as-siyasah asy-syar’iyyah. Inspirasi ditulisnya kitab ini adalah dari hadits Nabi Saw, dari Abu Hurairah r.a.:
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا يَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ أَمْرَكُمْ
“Sesungguhnya Allah ridha untuk kalian tiga perkara dan membenci atas kalian tiga perkara. Allah ridha untuk kalian; jika kalian beribadah kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, kalian semua berpegang teguh dengan tali Allah dan tidak berpecah belah, dan kalian menasehati orang yang oleh Allah diangkat sebagai pemimpin kalian.” (HR. Muslim no. 1715, Malik dalam Al-Muwatha’ no. 1796 dan Ahmad no. 8799)
Sehingga inti dari karya penting tersebut dikhususkan untuk membahas dua ayat Allah Swt yang mulia, yakni Surat An-Nisa/4 ayat 58-59,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[5]
![siyasah2](https://wido.files.wordpress.com/2015/02/siyasah2.jpg?w=300)
Perhatian Imam Al-Mawardi terhadap fiqh politik mendorongnya untuk melahirkan banyak buku tentangnya, diantara yang dikenal hari ini adalah Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Siyasah al-Wizarati wa Siyasah al-Maliki (Qanun al-Wizarati), Tashilu an-Nadzari wa Ta’jilu adz-Dzafari fi Akhlaqi al-Maliki wa Siyasah al-Maliki, Siyasah al-Maliki, Nashihhah al-Muluk. Sebagai misal dalam Kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Imam al-Mawardi membahas seara detail tata aturan negara dalam hal Pengangkatan Imam (Khalifah), Menteri, Gubernur Provinsi, Panglima Jihad, Hakim, Wali Pidana, Naqib, Imam Shalat, Amirul Haj, Petugas Zakat. Beliau juga menulis banyak tema tentang hukum dan ketentuan seputar penyelenggaraan negara. [7] Ulama Ahlus Sunnah yang bernama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi (370-450H), hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467H). Secara umum, kondisi politik Islam pada saat itu terbagi ke dalam tiga pemerintahan Islam yang tidak saling bekerjasama. Di Mesir, terdapat negera Fathimiyyah, di Andalusia terdapat negara Bani Umayyah, di Irak, Khurasan dan daerah Timur secara umum terdapat negara Bani Abbasiyah.
Para sejarawan politik berpendapat bahwa Imam al-Mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme pemilihan kepala negara dan pemecatannya baik dengan sendirinya mupun oleh hal-hal eksternal (‘azl dan in’izal). Adapun para pemikir politik sebelumnya, semasanya (kecuali Abu Ya’la), dan sesudahnya hingga abad pertengahan seperti al-Farabi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan Al-Ghazali, tidak ada yang menjelaskan bagaimana seharusnya kepala negara dipilih. Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali berpendapat bahwa kekuasaan khalifah atau raja adalah mandat dari Allah Swt. Bahkan Al-Ghazali berpendapat bahwa kekuasaan kepala negara adalah suci (muqaddas), tidak bisa diganggu gugat. Sedangkan Imam Al-Mawardi menyatakan bahwa politik harus tetap berada dalam batas-batas kedaulatan legal dan politik Tuhan.[8]
Akhirul kalam, penting bagi seluruh aktivis politik Islam untuk memahami konsep adil yang akan mempengaruhi cara berpikir hingga keputusan-keputusan politiknya, karena menegakkan keadilan adalah bagian dari pondasi utama mengapa harus ada sebagian kaum muslimin yang terjun ke dunia politik praktis. Semoga keadilan itu segera tegak diawali dari negeri-negeri kaum muslimin.
Maraji’
1] Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Politik Islam, Penjelasan Kitab Siyasah Syar’iyyah Ibnu Taimiyyah, Jakarta: Griya Ilmu, Cetakan ke-2, 2014, hlm. 13.
2] Tijani Abdul Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Al-Qur’an, Jakarta:GIP, 2001, hlm. 3. Pendapat ini dikutip dari Maurice Douferg, Pengantar Ilmu Politik, diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Sami Darub dan Jamal Atasi, Beirut: Darul Jail.
3] Yusuf al-Qaradhawy, Fiqh Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997, hlm. 41.
4] Taufiq Yusuf al-Wa’iy, Pemikiran Politik Kontemporer Al-Ikhwan Al-Muslimun, Studi Analitis, Observatif, Dokumentatif, Solo: Intermedia, 2002, hlm. 51.
5] Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar’iyyah, Beirut: Dar Ibn Hazm, 1974, hlm. 9.
6] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyyah fi as-Siyasatu asy-Syar’iyyah, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998, hlm. 13.
7] Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Jakarta: Darul Falah, Cetakan ke-2, 2006, hlm. xxxi.
8] Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mencermati Konsep Kelembagaan Politik Era Abbasiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 2000, hlm. 30.
Komentar
Posting Komentar